Tulisan yang dimuat Soenting Melajoe beragam. Selain berita terjemahan dari bahasa Belanda yang dikerjakan Rohana, koran ini juga menyajikan sejarah, tulisan para kontributor, hingga puisi.
Adanya wadah untuk menampung pikiran perempuan itu membuat Rohana semangat mengajak kawan-kawan dan muridnya untuk menulis di Soenting Melajoe. Di antara yang mengirim tulisannya, ada istri Wiria Atmadja dengan tulisan tentang obat sakit kolera pada terbitan tanggal 5 Oktober 1912. Lain waktu, pada Kamis 30 Januari 1913, Soenting Melajoe memuat puisi salah satu murid Rohana.
Rohana dan Ratna Juwita sudah barang tentu menulis di setiap edisi. Pada Sabtu, 7 Agustus 1912, lewat artikel berjudul “Perhiasan Pakaian”, Rohana membahas keterampilan perempuan Minangkabau dalam menjahit dan merangkai manik-manik atau hiasan untuk pakaian. Ia menyoroti beberapa jenis keahlian tidak diturunkan sempurna dari nenek ke anak cucu mereka. Padahal, menurut Rohana, jika keahlian itu diturukan dengan baik dan ditekuni, hasilnya bisa mendatangkan keuntungan finansial bagi perempuan. Intinya, Rohana mengajak para perempuan untuk berbisnis dengan modal keterampilan menghias baju.
“Sayang sekali kepandaian kita itu tidak dimajukan terus dan tidak dihikmatkan supaya kian lama bertambah halus dan bersih perbuatannya sampai boleh menjadi barang perniagaan seperti di bangsa lain,” tulis Rohana dalam artikel itu.
Adanya Soenting Melajoe membuat Rohana menjadi lebih sibuk. Disiplin mengatur waktu pun ia terapkan agar semua kegiatannya bisa berjalan lancar. Seperti ditulis Tamar Djaja dalam Rohana Kudus, Srikandi Indonesia, dalam sehari Rohana akan mengajar selama dua jam di sekolahnya, dua jam pula ia sempatkan untuk mengurus perkumpulan perempuan, dan malamnya ia fokuskan untuk menulis artikel di Soenting Melajoe.
Kiprah Rohana dalam bidang jurnalistik tak terbatas pada penerbitan Soenting Melajoe. Ketika pindah ke Medan tahun 1920, ia berpartner dengan Satiman Parada Harahap untuk memimpin redaksi Perempuan Bergerak. Sekembalinya ke Minangkabau pada 1924, Rohana diangkat menjadi redaktur di suratkabar Radio, harian yang diterbitkan Cinta Melayu di Padang.
Tulisan-tulisan Rohana kebanyakan berisi ajakan pada kaum perempuan agar lebih maju. Ia pun mengkritik praktik pergundikan yang dilakukan orang-orang Belanda kepada perempuan Indonesia, pekerjaan tak manusiawi di Perkebunan Deli, dan permainan para mandor yang menjebak buruh-buruh perempuan dalam prostitusi.
“Aku ingin berbuat lebih banyak lagi untuk menolong kaum perempuan,” kata Rohana. (*)