Jalan Sendiri-Sendiri
Ketika ditanya mengenai perkembangan gerakan perempuan, Rainy mengakui rada tersendat, terutama merujuk pada pengalaman di lingkungan gerejanya. Di lingkungan gereja, gerakan perempuan berjalan tersendat-sendat. Secara umum, menurut pengamatannya, mulai ada perubahan. Pada beberapa sinode gereja, perempuan telah menduduki kursi pengambilan keputusan tertinggi. Beberapa sinode juga telah membangun rumah damai (crisis center) bagi perempuan korban kekerasan. Memang jumlahnya masih terbatas, tetapi sudah memperlihatkan kemajuan.
Hanya saja, menurut Rainy, yang dinamakan gerakan bersama belum terwujud. Lembaga terkait perempuan di lingkungan Kristen cenderung jalan sendiri- sendiri—untuk tidak mengatakan terkotak-kotak. Bahkan, di antara para aktivis perempuan sendiri ada berbagai persoalan. Ini sangat disayangkan karena dengan demikian, kaum perempuan tidak menawarkan perspektif power relation dan sisterhood yang berbeda dengan laki-laki. Hasilnya, tentu saja tak maksimal. Hanya pada momen penting, seperti pengesahan UU Pornografi dan Pornoaksi, misalnya, gerakan perempuan lintas agama bersatu. Ini memang menggembirakan, tetapi tanpa momen khusus yang mendesak, sehari-hari jalan sendiri-sendiri, tidak bersinergi.
Tak Pernah Memandang Diri sebagai Difabel
Rainy menjadi seorang difabel ketika ia menginjak bangku SMA. “Di SLA baru terasa, dan saya pernah mencoba MRI (Magnetic Resonance Imaging) di RS Cipto, Jakarta, hasilnya tak ada apa-apa. Saya juga pernah terapi akupuntur di beberapa tempat, terasa membaik, tetapi tak lama kembali pada kondisi semula. Akhirnya, saya memutuskan untuk berhenti memperlakukan telinga saya sebagai ‘pesakitan’ dan menerima kenyataan bahwa saya memang difabel,” paparnya.
Meski demikian, ia tak pernah memandang diri sebagai “orang cacat”. Rainy merasa sama saja seperti orang-orang lain, sama seperti mereka yang pakai kacamata karena matanya rabun atau berat tubuhnya berlebih. Ibunya juga tak pernah memperlakukan dirinya berbeda dengan yang lain. Tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya sama dengan adik-adiknya. Tak ada perlakuan lebih dan tak ada perlakuan kurang. Lingkungan keluarga, terutama ibu dan adik- adiknya sangat penting untuk membangun konsep diri. Menurutnya kalau orang- orang di sekeliling kita memandang kepada kita dengan optimis, maka kita pun akan optimis.
Ibunya pernah marah besar pada seorang tetangga ketika dikatakan bahwa setamat SMA sebaiknya Rainy dikawinkan saja. Ia memang tak mendengar langsung percakapan Ibu dengan tetangga itu, tapi Ibu menceritakannya kepada saya dengan nada marah. “Dikiranya kau tak punya masa depan! Cuma di dapur!” kata ibunya. Sampai sekarang, bila mengingatnya, emosi Ibu terasa berdenyut di hatinya.
Menerima dirinya sebagai difabel, Rainy berkeras untuk mengatasi kekurangan dirinya dengan belajar. Dalam berkomunikasi, Rainy membaca gerak bibir orang yang berbicara kepadanya. Sewaktu SMA dan semasa kuliah, Rainy selalu memilih duduk di baris bangku terdepan. Dari pengalamannya belajar, ia menyimpulkan bahwa bila kita punya kekurangan, kita mesti meraih kelebihan yang lain.
Rainy tak pernah berterus-terang bahwa pendengarannya kurang. Orang baru tahu setelah bergaul dengannya. Dalam pergaulan, Rainy tak pernah “pasang tampang” bahwa ia difabel. Di lingkungan kampusnya dulu, ukurannya bukan difabel atau nondifabel, melainkan intelektualitas. “Kalau mampu, kita menjadi tempat orang untuk berkonsultasi atau bertanya,” jelas Rainy.
Memang, ada beberapa mahasiswa yang memandang sebelah mata, tetapi tak sampai mengusik keasyikan kuliahnya di kampus. Rainy belia juga jadi pengurus senat dan ikut mengelola majalah dinding kampus sehingga ia tak lagi memikirkan kekurangan yang ada dalam dirinya.
Baginya, seorang difabel harus mengenali keterbatasan dirinya dan memilih bidang yang cocok dengan minat dan kemampuannya. “Saya tak mungkin menduduki posisi public relation karena keterbatasan pendengaran, misalnya. Sebaliknya, saya cocok di bidang terkait publikasi dan riset serta pelatihan- pelatihan, khususnya pembuatan modul dan pengadaan materi. Pengalaman mengajarkan, jika kita difabel, maka kita harus ‘dua kali lebih’ dari yang lain agar diperlakukan setara dan dihargai,” katanya.
Bagaimana dengan perlakuan diskriminasi? Ia yakin, semua difabel pernah mengalami diskriminasi. Ia pernah mengatakan pada dirinya walau tak sampai menyurutkan semangat hidup bahwa saya difabel dan seorang perempuan! Ini untuk mengingatkan kerentanan dua hal akan diskriminasi dan eksploitasi. Rainy yakin, semua difabel pernah mengalami diskriminasi, juga eksploitasi. Disuruh mengerjakan macam-macam pekerjaan di luar pekerjaan kantor, urusan pribadi, dan kalau menolak diancam akan di-PHK. Dulu Rainy menulis makalah untuk atasan dan memakai nama atasan, juga penelitian dengan memakai nama atasan. Periode lampau ia cukup sering menulis makalah, tetapi bukan atas nama dirinya. Seorang penulis terkenal pernah mengiriminya SMS bahwa ia adalah benchmark yang dipasang di tempat kerjanya.
Dalam batas tertentu, ia bisa menerima bahwa perlakuan diskriminasi itu sifatnya manusiawi. Misalnya, orang-orang berbincang dengan suara perlahan, tidak memperhitungkan kehadirannya yang berpendengaran kurang. Dalam situasi seperti ini, kita harus bersabar. Sebagai informasi, indra telinga berkaitan dengan keselarasan emosi. Mereka yang pendengarannya kurang, harus mampu mengolah emosi sedemikian rupa agar stabil. Banyak membaca akan menolong mengenali diri dan mengatasi persoalan psikis maupun kehidupan sehari-hari di lingkungan kerja.
Sulit Berharap pada Pemerintah