Seperti yang ditulis oleh majalah Bazaar, untuk bertemu dengan para pemeberontak Tamil Eelam, ia harus melewati berbagai pos penjagaan dan rute jalan yang sangat berat. Berbagai penjagaan ketat harus dilalui Yuli sampai akhirnya ia diantar oleh pihak pemberontak ke pusat pemberontakan. Ternyata, untuk sampai ke sana, yaitu di semenanjung Jaffna, Srilangka, ia harus menjinjing tinggi- tinggi ransel yang berisi kamera dan tape. Jalan yang dilaluinya pun penuh dengan ranjau. Di sepanjang jalan yang dilewati harus ditunjukkan tanda-tanda bahwa mereka adalah tamu yang sudah diketahui kedatangannya. Sampai akhirnya, Yuli tiba di tanah Jaffna, pusat pemberontakan Tamil Eelam, dan ia melihat setiap orang di sana memanggul senjata. Yuli pun diperlakukan dengan sangat baik, ia diberi penginapan khusus perempuan.
Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa dunia jurnalistik bagi Yuli adalah segala-galanya dan medan perang sudah menjadi bagian dari hidupnya. Yuli beruntung mempunyai keluarga yang mengerti dengan kehidupan jurnalis. “Keluarga dan suami saya penuh pengertian. Sedikitnya untuk satu peliputan saya harus meninggalkan keluarga selama 2-3hari. Bahkan, ketika saya mendapat tugas ke Irak, saya meninggalkan mereka kurang lebih tiga bulan,” tuturnya. Yuli adalah ibu dari dua anak, yang pertama perempuan bernama Atikah Suburt (29), saat ini menjadi wartawan CNN untuk peliputan di Indonesia dan satunya lagi laki-laki bernama James Lowai (24) yang sekarang masih menempuh kuliah di Amerika.
Yuli lahir di Yogyakarta pada 4 Oktober 1946 dan terlahir sebagai anak seorang diplomat. Karena itu, tidak mengherankan apabila ia selalu berpindah-pindah tempat tinggal mengikuti tugas ayahnya, hingga akhirnya ia harus menyelesaikan studi S1-nya di India meskipun sempat kuliah di Universitas Indonesia. “Saya pernah di UI sebentar, kemudian saya melanjutkan ke India dan bertemu dengan Aung San Suu Kyi. Kami berteman, di samping karena orang tua kami sama-sama diplomat dan kami menempuh pendidikan di universitas yang sama, sampai akhirnya ia dipenjara oleh pemerintah Burma. Kalau ada kesempatan, saya selalu mengontaknya. Kami masih saling memberi kabar meskipun harus dengan sembunyi-sembunyi,” demikian ujarnya.
Selesai menamatkan studi, ia kembali ke Indonesia. Yuli pun bingung mencari pekerjaan yang pas untuk dirinya hingga ia bertemu dengan Ibu Herawati Diah yang menawarinya bergabung di harian Indonesian Observer. Sejak saat itu, ia tidak pernah mengenal pekerjaan lain, selain kegiatan jurnalistik yang ia tekuni sejak 1969. Di media yang satu ini, ia melewati karier jurnalistiknya selama satu tahun karena kemudian ia meneruskan studinya ke Amerika di Universitas Firencius, New York. Setelah itu, ia kembali lagi ke Indonesia dan menjadi editor untuk Jurnal Prisma edisi bahasa Inggris sekitar tahun 1977-1982. Selepas dari Prisma, iamenjadi koresponden Majalah Tempo di Bangkok. Awalnya memang ia tidak bekerja untuk Majalah Tempo. Kepergiannya ke Bangkok dalam rangka mengikuti tugas suami. John Mcbeth, demikian nama suaminya, adalah salah seorang pejabat UNICEF yang ditugaskan di Bangkok. Karena kebetulan di Thailand dan sepanjang perbatasannya penuh daerah konflik sementara Tempo membutuhkan jurnalis yang bisa meliput, maka jadilah Yuli ditawari oleh Tempo untuk menjadi koresponden di sana yang ternyata banyak melahirkan pengalaman menarik baginya.
Jurnalis Profesional
Memasuki wilayah konflik bukanlah pekerjaan mudah. Biasanya, daerah ini tertutup bagi semua pihak, kecuali pihak-pihak tertentu atau pihak yang bertikai. Menjadi wartawan di daerah konflik tidak bisa mengandalkan kemampuan teori jurnalistik. Jurnalis yang dikirim ke wilayah konflik tidak saja harus cermat menyimakperistiwa, tetapi jugaharuscermatmawasdiri menghadapi kemungkinan terkena tembakan. Di sini keberanian sangat diutamakan.
“Waktu kita terjun ke lapangan, kita tidak ada waktu untuk takut. Kita bukan saja harus melihat semua dan terus mencatat, tapi kita juga harus mawas diri,” kata Yuli. Dalam konteks itu, faktor pengalaman, keberanian. dan keinginan untuk membangun jaringan adalah kunci utama dalam proses peliputan di wilayah konflik. Faktor inilah yang terus menjadi kuncinya dalam setiap kesempatannya meliput area konflik dan sejauh ini, ia memang tidak pernah menolak kesempatan yang diminta padanya, bahkan ia sangat menikmati kesempatan tersebut.
“Kata kunci selama saya bertugas adalah jaringan. Saya selalu memanfaatkan jaringan dimana pun saya ditugaskan. Saya bisa masuk ke daerah gerilyawan Tamil Eelam itu bukan saya dapat sendiri. Saya ngomong-ngomong dengan pengungsi. Saya bertanya, ‘Daerah itu sudah diblokir, kok, kamu bisa keluar?’ Orang itu menjawab, ‘Oh, ada jalan tikus, Bu.’ Terus, saya cerita sama teman saya dari Amerika dan itu prinsip saya, saya tidak mau jalan sendirian. Karena saya takut bila terjadi sesuatu, tidak ada yang digambar oleh pengungsi. Dan, benar ternyata, kita sampai juga di tempat tujuan,” ujar Yuli. Membangun komunikasi dengan berbagai pihak ini juga yang membawa kesuksesan Yuli menembus daerah konflik di Thailand untuk pertama kali. Menurutnya, Majalah Tempo tidak pernah mengajarkan secara detail bagaimana meliput wilayah konflik. Untuk itu, dibutuhkan kemampuan Sang Jurnalis ini untuk menggali sendiri kunci-kunci yang bisa membawanya ke area konflik.
Ia adalah salah satu wartawan yang mencari sendiri kunci-kunci itu. Ketika di Bangkok, misalnya, Yuli berteman dengan banyak pihak. Ia memanfaatkan asosiasi perkumpulan wartawan yang ada di Bangkok. Di Bangkok banyak pula wartawan asing dari penjuru dunia berkumpul karena waktu itu Thailand dan wilayah sekitarnya dipenuhi oleh konflik dan liku-liku. Yuli pun meminta pertolongan mereka. “Saya ingat banyak izin yang harus dipenuhi, namun semua bisa teratasi karena banyak yang membantu saya untuk mengurusnya,” ujar Yuli. Hal yang sama juga dilakukan ketika ia harus meliput wilayah konflik di Afghanistan pada 1989. “Waktu dikirim ke Afghanistan, saya ikut Jawal Dastan, mungkin nama itu tidak populer. Ia adalah kepala suku yang masih bertahan di bagian utara Afghanistan. Waktu itu pemerintah Rusia angkat tangan terhadap tentara Afghanistan, seperti Amerika bertekuk lutut di Vietnam. Peristiwa ini adalah peristiwa besar. Tank-tank besar Rusia tidak ada, siapa nanti yang akan berkuasa? Saya harus mencari informasi itu dan sangat sukar untuk mendapatkan datanya. Datang ke kedutaan Afghanistan untuk mencari tahu kemungkinan ke sana, saya malah dibilang, ‘Kamu gila, kamu perempuan, tidak berjilbab, sulit untuk masuk wilayah Afghanistan,’ demikian kata pejabat kedutaan itu. Tapi, untung, dulu Taliban belum masuk, Afghanistan masih agak liberal. Ketika saya ditanya, ‘Kamu siapa dan apa maksudnya datang ke Afghanistan?’ Saya menjawab, ‘Saya wartawan dan saya ingin meliput kondisi Afghanistan setelah Rusia menyerah.’ Setelah menunjukkan sejumlah identitas, barulah mereka memberi izin untuk masuk ke wilayah Afghanistan.”
“Selama berada di sana dan melakukan peliputan, termasuk juga untuk mengirim berita, saya memanfaatkan teman. Termasuk ketika saya bertanya bagaimana saya bisa masuk ke masyarakat? Mereka jawab, kamu harus ini dan itu, termasuk mereka mengingatkan saya untuk memakai kerudung. Jadi, itulah fungsi networking. Penting sekali di situ. Kita harus jalin persahabatan, kalau sudah itu, dengan kredibilitas juga. Kalau waktu itu ada pembicaraan yang off the record, ya, harus benar-benar off the record. Kita harus menghormati permintaan mereka. Saya dianggap wartawan yang profesional, bisa dipercaya, dan kutipan saya tidak pernah ngawur-ngawuran. Karena itu, saya selalu diajak oleh wartawan-wartawan Bangkok Post dan dipercaya oleh mereka sehingga saya mudah sekali mendapatkan kesempatan yang mahal,” tutur Yuli.
Selain faktor jaringan, faktor lain yang menjadi prinsip Yuli adalah memegang teguh prinsip-prinsip jurnalistik, termasuk kode etik jurnalistik. “Saya berusaha objektif waktu mengirim berita. Tugas saya murni untuk mencari informasi dan mencari tanggapan orang untuk saya kirim ke Jakarta. Saya tidak pernah membuat kesimpulan. Sayaserahkansemua ke editor-editor itu. Kalau kita mau jadi wartawan yang profesional, kerja kita adalah memberitakan. Keinginan saya adalah memberi informasi yang sebenarnya, yang setepatnya, kepada masyarakat. Itulah visi kita untuk menjelaskan satu masalah yang sedang terjadi, harus sejujur mungkin, seobjektif mungkin. Misalnya, kita diberitakan dan kita dilarang mengomentari, dan kita harus memberi pendapat. Jadi, penulisan kita harus mencerminkan objektivitas itu,” ujarnya.
Jurnalis Perempuan
Perang adalah area maskulin. Kekerasan, senjata, darah, dan korban-korban manusia tak berdosa menjadi penghiasnya. Penggambaran perang yang semacam itu tidaklah menjadi penghalang bagi Yuli untuk terjun ke dunia yang selalu didominasi nuansa maskulin. “Ini dunia laki-laki sebetulnya, tapi dalam konteks ini saya adalah jurnalis, saya profesional dan saya tidak pernah melihat bahwa saya berbeda. Karena mungkin saja saya diskriminasi, tapi saya tidak mau melihat itu sebagai rintangan. Saya selalu memaksa kalau tidak boleh. Saya pernah dilarang masuk ke daerah konflik itu, mereka mengatakan kepada saya, kamu, kan, perempuan. Bagi saya, tidak ada kata perempuan atau laki-laki. Saya sering mendapatkan kata-kata itu. Pernah suatu kali oleh tentara saya dilarang masuk, alasannya ini bukan area untuk perempuan. Tapi, saya balas menjawab bahwa ini tugas saya. Tidak ada laki-laki atau perempuan dalam tugas ini. Mereka tetap marah, ‘Kamu bodoh sekali, ya. Ini, kan, bahaya. Kamu bisa kena tembak.’ Saya jawab, ‘Oh, itu risiko saya, Pak.’ Pokoknya, saya terus meyakinkan mereka bahwa saya bisa mengerjakan tugas saya dengan baik,” jelas Yuli dengan berapi-api.
Persoalan-persoalan yang diskriminatif terhadap perempuan itulah yang kadang kala menghambat perjalanan karier jurnalistiknya. Terkesan itu persoalan ringan, tapi itu merupakan persoalan besar menyangkut posisi perempuan di dalam lingkungan masyarakat. Yuli selalu merasa kesal bila hilangnya kesempatan meliput suatu peristiwa hanya disebabkan gendernya. Kekesalan dan kesedihan Yuli sebagai perempuan tidak saja ditujukan dari perilaku masyarakat yang memposisikan dirinya lemah. Kesedihannya semakin bertambah ketika ia harus menyaksikan bagaimana perang tidak pernah meninggalkan sesuatu yang membanggakan. Perang telah banyak merenggut nyawa manusia, terutama perempuan dan anak-anak yang paling banyak menjadi korban.