Pertarungan PDIP vs Golkar, Siska Tak Mau Bicara Politik di Rumah
WARNA-WARNI. Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Cirebon Siska Karina, ketika menjadi tamu di Podcast Rakyat Cirebon. FOTO: ZEZEN ZAENUDIN ALI/RAKYAT CIREBON--
RAKYATCIREBON.ID, CIREBON - Kontestasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) memang masih beberapa tahun lagi. Namun, dinamikanya mulai terasa. Banyak spekulasi bermunculan. Di Kabupaten Cirebon, dalam kontestasi pemilihan kepala daerah, nyaris selalu menempatkan PDI Perjuangan sebagai juaranya.
Di luar itu, menarik untuk menelisik kekuatan politik arus keluarga. Sebut saja seperti kekuatan politik salah satu keluarga besar Anggota DPRD Kabupaten Cirebon, Siska Karina SH MH. Politisi yang kini menduduki posisi ketua Komisi IV itu, keluarga besarnya sudah masyhur memiliki pandangan politik berbeda antara satu dengan lainnya. Ada banyak warna bendera. Dan yang dominan adalah merah dan kuning. Yakni PDI Perjuangan dan Golkar.
Siska sendiri sebagai kader Partai Golkar. Sementara kakaknya, Dr Sofi Zulfia SH MH sebagai kader banteng dan memiliki posisi strategis di PDI Perjuangan. Sebagai sekretaris DPC PDIP Kabupaten Cirebon. Ketika keduanya bersatu, kekuatan politiknya tentu saja membuat ngeri lawan.
Bayangkan saja, dua arus besar parpol, PDIP-Golkar. Ditambah, arus lainnya, PGRI dan Korpri yang masing-masing sedang dinakhodai oleh kedua orang tuanya, Yeyet Nurhayati dan Iis Krisnandar. Manakala ada di antaranya yang mengikuti kontestasi Pilkada 2024 mendatang, dipastikan kekuatan politik keluarga itu, akan mendominasi.
Kondisi itu, sangat disadari oleh Siska. Namun ketika sudah di rumah bersama keluarga, istri ahli hukum tata negara, Dr M Sigit Gunawan SH MKn itu memilih untuk tidak membahas persoalan politik.
"Saya di keluarga beda warna. Saya di Golkar. Keluarga PDIP. Kalau nyampe rumah, berusaha menghindari pembicaraan politik," ungkap Siska saat menjadi tamu di Podcast Rakyat Cirebon.
Obrolan Siska ketika di rumah sangat selektif. Manakala sudah menyeret bahasan politik, ia memilih untuk menghindar. Meskipun dengan orang tuanya. Tapi di luar politik, politisi berkacamata itu cukup terbuka.
"Kebetulan bapak di Dinsos. Kalau berbicara terkait mitra kerja, boleh. Misalnya persoalan sosial. Dinsos yang menjadi mitra kerja saya saat ini di Komisi IV. Itu boleh," akunya.
Menurut Siska, persoalan politik tidak perlu dibawa ke rumah. Ada alasan kuat yang menjadikannya selektif dalam pembahasan politik. Menurutnya, ada tuntutan profesional. "Bicara politik artinya bicara pekerjaan. Dan itu jangan dibahas di rumah. Kebetulan di keluarga kita kan beda-beda pandangan politiknya. Bicara politik artinya bicara strategi. Sudah pasti beda pola dan strateginya," tandasnya.
Berkaca pada Pilkada 2018 lalu, Golkar dan PDIP memiliki kandidat masing-masing. Keduanya memilih untuk bertarung. Golkar menjadi penantang bersama Demokrat dan PBB. Saat itu, mengusung Rahmat-Yayat Rukhyat. Namun kalah. Kandidat yang diusungnya tidak berhasil menduduki posisi E1 maupun E2. PDIP lah pemenangnya. Kini sedang memimpin eksekutif.
Sebagai anggota legislatif dari Golkar, Siska melihat banyak persoalan di masa kepemimpinan PDIP saat ini. Dimulai dari persoalan pendidikan, kesehatan dan sosial. Amburadul. Padahal, postur anggaran, mayoritas dilarikan untuk item itu. Tapi belum mampu menuntaskannya. Alasannya karena mayoritas anggaran untuk membayar gaji pegawai.
"Di Pendidikan, kan banyak sekolah rusak. Jangankan bicara SDM, infrastrukturnya saja masih begitu. Pun juga kesehatan," imbuhnya.
Pihaknya yang kini di Komisi IV, bidang garapannya terkait pendidikan, kesehatan dan sosial. Persoalan-persoalan itu menumpuk menjadi pekerjaan rumah yang setiap hari terus disoroti. "Kita terus menyorotinya. Alhamdulillah satu persatu, persoalan di daerah mulai dijalankan pemerintah. Kesehatan sudah mulai, pun juga pendidikan," jelasnya.
Di awal masa jabatannya, bicara BPJS saja, kepesertaannya minim. Saat itu, kata Siska, baru di angka 80 persen. "Kita di komisi IV pun terus bekerja, agar bisa menaikan kepesertaan BPJS. Kita punya target agar statusnya bisa UHC. Akhirnya selama 3 sampai 4 bulan, berhasil. Naik 10 persen. Jadi 95 persen. Kepesertaan BPJS itu tuntutan, untuk UHC. Agar pelayanan kesehatan bisa mandiri," ungkapnya. (zen)
Sumber: