Gusdurian Harus Move On, Mbak Yenny Wahid Stop Provokasi

Gusdurian Harus Move On, Mbak Yenny Wahid Stop Provokasi

KH Imam Jazuli Lc--

RAKYATCIREBON.ID, SEBAGIAN warga Nahdliyyin mengakui kualitas kewalian KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Meneladani Gus Dur bukan lagi sekadar sebagai intelektual dan politisi, tetapi juga moralitas kepemimpinannya.

Ada begitu banyak saksi mata, betapa Gus Dur dengan rida dan lapang dada merestui kepemimpinan Kiai Aziz Mansyur sebagai ketua Dewan Syuro PKB, dengan Muhaimin Iskandar sebagai ketua umum.

Sebagai politikus, keridaan semacam itu tidak mudah dimiliki oleh seseorang, karena itu adalah sikap seorang pemimpin sejati. Kepemimpinan sejati tidak diwariskan secara biologis, melainkan secara ideologis.

Kenyataan ini bisa kita lihat dari diskusi publik yang kembali viral. Yenny Zannuba Wahid, yang notabene keturunan biologis Gus Dur, tidak menampakkan jiwa dengan kepemimpinan sejati. Yenny malah memprovokasi perpecahan PKB daripada menyerukan persatuannya.

Yenny Wahid mengungkit-ungkit luka lama yang sejatinya sudah sembuh di tangan hukum. Bahkan, tidak henti-hentinya menyebut Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar merampas PKB dari tangan ayahnya, Gus Dur.

Di sini menjadi sangat tampak bahwa Gusdur-isme mudah diselewengkan, bahkan oleh interpretasi keturunan biologisnya sendiri. Gus Dur adalah pribadi yang mudah memaafkan dan tidak iri meri pada siapapun, termasuk pada Muhaimin Iskandar sendiri.

Muktamar Ancol dan Muktamar Parung 2008 memang realitas sejarah yang tidak bisa dimungkiri. Partai besar ini, yang konon memperjuangkan "ukhuwah", ternyata juga sempat tergelincir, dengan berkonflik sesama warga Nahdliyyin.

Namun, Gus Dur bukan tipe pendendam. Perpecahan pun bukan cita-cita kita semua. Apalah gunanya bicara humanisme, persaudaraan, dan persatuan. Sementara sikap dan perilaku diri kita sendiri sebagai warga NU dan pecinta tidak mencerminkan itu.

Hari ini kita membutuhkan figur yang patut diteladani, mengajak seluruh elemen bangsa untuk bersatu, lebih-lebih sesama warga Nahdliyyin. Bukan hanya bersatu dalam ormas keagamaan melainkan juga bersatu di partai politik.

Bersatunya warga NU di dunia politik sudah terpikirkan oleh kiai-kiai sepuh kita. Karenanya, mereka membentuk Tim Lima dengan Surat Tugas No. 925/1998. Tujuannya untuk membentuk satu partai politik yang mampu menampung seluruh aspirasi warga NU. Bukan memecah-belah.

Perpecahan di internal Nahdliyyin tidak menguntungkan. Bukan hanya di ranah sosial ekonomi, perpecahan di ranah politik juga akan merugikan. Cita-cita leluhur, termasuk Gus Dur, untuk mengarahkan suara Nahdliyyin ke PKB juga akan sia-sia.

Yenny Wahid tampak tidak ingin persatuan itu terjadi. Luka lama sekaligus borok Nahdliyyin sendiri diungkit -ungkit lagi. Seperti ada dendam kesumat yang tidak mau dilupakan, hanya gara-gara dinamika politik internal.

Hemat penulis, PKB adalah milik NU sesuai amanat Surat Tugas PBNU 1998. Karenanya, seluruh warga Nahdliyyin, termasuk Yenny Wahid sendiri, berhak memimpin PKB. Yenny dapat mengonsolidasi massanya untuk mendukungnya menjadi ketum PKB, menggantikan Muhaimin Iskandar.

Kepentingan subjektif semacam itu tidak lantas ditempuh dengan mengorbankan persatuan pendukung PKB. Luka lama Muhaimin Iskandar menggantikan Gus Dur sebagai ketum PKB melalui Muktamar Ancol adalah dinamika politik internal PKB dan NU. Bukan masalah etika politik publik.

Artinya, kepemimpinan Muhaimin Iskandar sudah sah secara hukum negara dan juga telah didukung oleh massa mayoritas NU. Jika Yenny ingin menggeser posisi Cak Imin, maka mekanisme internal parpol sudah tersedia. Tanpa perlu menyeret fenomena gagalnya Gus Dur mempertahankan PKB sebagai masalah etika politik di mana Cak Imin dituding merampok PKB.

Alhasil, dengan tidak memprovokasi perpecahan PKB, antara kubu Muhaimin Iskandar dan kubu Gus Dur, Yenny Wahid telah menunjukkan kedewasaan berpolitik. Gusdurian akan menjadikannya setidaknya sejajar dengan perjuangan ideologis ayahnya, yang mencita-citakan persatuan umat manusia, apalagi persatuan warga NU dan pendukung PKB. Wallahu a'lam bis shawab. (*)

*) KH Imam Jazuli Lc, adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

Sumber: