Benarkah Kaum Ba'alawi dan Orang-orang Arab Hadrami Ini Pendukung Hindia Belanda?
Kaum Ba 'Alawi di Indonesia--
RAKYATCIREBON.ID-Dalam beberapa waktu belakangan ini terjadi perdebatan sengit di media sosial berkenaan dengan nasab kaum Ba’alawi serta hubungannya dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kaum Ba’alawi di Indonesia memiliki asal usul dari Hadramaut, Yaman.
Kaum Ba’alawi dan orang-orang Arab Hadrami lainnya datang ke Hindia Belanda atas keinginan dan cara mereka sendiri. Raffles, Thomas Stamford. 1965. The History of Java, Vol. 1. London: Oxford University Press menjelaskan bahwa banyak dari mereka yang tertarik dengan peluang ekonomi yang ada di Hindia Belanda dan mereka biasanya berprofesi sebagai pedagang. Bahkan lebih banyak lagi yang berperan sebagai ulama.
Dalam buku Hurgronje, C. Snouck, et.al. 1994. Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda, 1889-1936, Vol. IX. Jakarta: INIS menjelaskan di dalam sebagian nasihatnya kepada pemerintah kolonial Belanda memberi saran agar kedatangan imigran baru dari Hadramaut disekat oleh pemerintah.
Ini mengindikasikan bahwa orang-orang Hadrami itu datang sendiri dan kehadiran mereka dilihat sebagai masalah oleh sebagian orang Belanda. Dokumen-dokumen di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Jakarta yang mencatat kedatangan imigran Hadrami ke Hindia Belada juga umumnya mencatat profesi mereka sebagai pedagang.
Pada tahun 1867 – ini sebelum L.W.C van den Berg memulai karirnya di Hindia Belanda dan ketika itu usia Snouck Hurgronje baru sepuluh tahun – orang-orang Hadrami sudah hadir di Hindia Belanda. Begitu pula, istilah “sajid” (sayyid) dan “sech” (syaikh) sudah digunakan dan muncul di koran Belanda (“Executoriale verkoop van onroerend goed,” 1867, 7).
Istilah sayyid merupakan gelar yang pada masa itu biasa digunakan oleh keluarga-keluarga Hadrami yang menghubungkan nasab mereka dengan Nabi Muhammad, dan istilah syaikh digunakan oleh keluarga-keluarga Hadrami lainnya.
Selain itu, jika ada akademisi yang melakukan penelitian di Arsip nasional RI di Jakarta untuk periode awal abad ke-20, maka ia akan dengan mudah menemukan nama-nama Ba’alawi pada entri “sayyid” dan nama-nama Hadrami lainnya pada entri “syaikh” di dalam, misalnya, gulungan “Klapper Bogor”.
Artinya hal itu merupakan status sosial yang sudah dikenal luas di tengah masyarakat Hadrami pada masa itu dan pemerintah kolonial hanya mencatatnya saja.
Kata ‘Alawi sendiri secara bahasa diambil dari kata Ali. Dalam sejarah Islam, kata ini pada masa Dinasti Umawiyah dan Dinasti Abbasiyah dimaksudkan untuk kelompok pengikut Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Kemudian, menjadi istilah sebuah sekte Syiah kebatinan. Namun berbeda dengan Ba ‘Alawi.
Husein Muhammad Muhammad Alkaff dalam buku Pemikiran dan Ajaran Para Sayid Ba ‘Alawi dari Masa ke Masa mengungkapkan, para pengikut sekte ini pun tersebar di Suriah, Lebanon, dan Turki.
Di kalangan kaum Muslimin Hadhramaut dan Indonesia, kata ‘Alawi dengan tambahan huruf ba sehingga menjadi Ba ‘Alawi adalah sebuah istilah untuk para sayid dari keturunan Sayid Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far As-Shadiq bin Muhammad Al-Bagir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib (bin Fatimah binti Rasulullah SAW).
Para sayid Ba ‘Alawi berasal dari Hadhramaut dan menyebar ke beberapa negara Arab Teluk, India-Gujarat, Asia Tenggara, dan Afrika Timur. Mereka datang ke Asia Tenggara seperti Campa (sebuah wilayah di Vietnam sekarang), Malaysia, dan Indonesia secara bertahap dan dalam beberapa gelombang. Yakni sejak abad ke-13 atau ke-14 hingga pertengahan abad ke-20 Masehi untuk berdagang dan berdakwah.
Sumber: