Proporsional Terbuka Picu Tingginya Politik Uang

Proporsional Terbuka Picu Tingginya Politik Uang

POLITIK UANG. Direktur Politik Hukum Pertahanan dan Keamanan, Kedeputian Kebijakan Bidang Pembangunan BRIN, Moch Nurhasim mengatakan sistem pemilu secara proporsional terbuka dituding jadi pemicu tingginya intensitas politik uang. FOTO : SUWANDI/RAKYAT CI--

RAKYATCIREBON.ID, CIREBON - Sistem pemilu secara proporsional terbuka dituding jadi pemicu tingginya intensitas politik uang. Para kontestan pemilu takut kalah jika tak pakai yang sebagai pendulang suara.

Hal itu disampaikan Direktur Politik Hukum Pertahanan dan Keamanan, Kedeputian Kebijakan Bidang Pembangunan BRIN, Moch Nurhasim pada Forum Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Partai Politik dalam Rangka Sukses Pemilu 2024, Kamis (2/11/2023).
 
"Karena dalam proporsional secara terbuka yang bertarung itu bukan partai tapi individu per individu bahkan persaingan antar internal partai, antar kader, antar calon itu juga terjadi," jelas Nurhasim.

Dalam konteks pemilihan anggota legislatif (pileg), persaingan itu makin dipersempit dengan sistem daerah pemilihan (dapil). Sehingga kompetisinya makin ketat.

"Dan karena ada ketukan kalah maka referensi para calon itu bukan program. Mereka tidak percaya pogram tapi lebih percaya fenomena NPWP (nomor piro wani piro)," kata Nurhasim.

Sialnya, referensi pemilih juga menghendaki hal yang sama. Apalagi, jika program-program politik yang dijanjikan tidak berdampak signifikan bagi pemilih.

"Referensi pemilih juga sama. Ketija politik secara langsung itu efek bagi masyarakat tidak jelas, ketika pembangunan menyebabkan disparitas, maka kemudian mereka menagih di awal," katanya.

Praktik politik seperti itu, kata Nurhasim berpotensi mengancam demokrasi. Yakni suara pemilih lebih mudah didapatkan dengan traksaksi. "Jadi kita mengarah pada demokrasi transaksional," imbuhnya.

Kemudian, kata Nurhasim, dalam situasi tersebut, tak heran jika para calon terpilih pada pemilu 2024 ialah mereka yang punya modal finansial kuat. Walau mengikuti tahapan pemilu, namun menang dengan kekuatan transaksional.

"Demokrasi transaksional yang disebut oleh filsuf Plato sebagai sistem yang paling buruk. Demokrasi saja sudah sisten paling buruk dibanding yang lain ditambah dengan iklim politik uang yang sangat tinggi. Maka yang jadi para pembesar adalah orang-orang kaya," terangnya. (wan)

Sumber: