Hidup Petani di Balik Megahnya Bandara Kertajati
TIMPANG. Seorang petani di wilayah Kertajati Kabupaten Majalengka tengah melakukan panen padi di dekat kemegahan bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati.-HASANUDIN-RAKYAT CIREBON
RAKYATCIREBON.ID, MAJALENGKA - Suasana sepi menjadi pemandangan di Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati, saat penulis menyambangi pada awal April 2024 lalu. Lahan parkir terlihat kosong.
Tidak terdengar gemuruh pesawat atau lalu lalang calon penumpang laiknya di terminal transportasi udara berkelas internasional.
Sebaliknya yang tampak aktivitas segelintir pekerja di lingkungan bandara yang sibuk memotong rumput dan membersihkan halaman.
BIJB Kertajati resmi beroperasi sejak 2018. Sebelum pandemi Covid-19, bandara ini sempat ramai. Pekerja bandara sibuk melayani jadwal penerbangan domestik maupun luar negeri dari sejumlah maskapai penerbangan.
Dalam sepekan ada dua kali jadwal penerbangan keluar negeri untuk rute Kertajati-Kuala Lumpur menggunakan maskapai Air Asia.
Akhir 2021, BIJB Kertajati juga sempat membuka pelayanan penerbangan kargo. Namun, pandemi membuat seluruh aktivitas di bandara melandai.
Di tahun yang sama, sekitar 175 pekerja dirumahkan. Pelayanan penerbangan kargo akhirnya berhenti.
Dibangun melalui tiga kepemimpinan gubernur, pemerintah memproyeksikan BJIB sebagai bandara terbesar kedua setelah Soekarno-Hatta di Tangerang.
Seluruh penerbangan komersial di Jawa Barat yang semula berangkat dari Bandara Internasional Husein Sastranegara di Bandung dipindahkan ke BJIB.
Proses pembangunan BJIB melewati tiga periode kepemimpinan Gubernur Jawa Barat yakni Ahmad Heryawan, Moch Iriawan, dan Ridwan Kamil. Studi kelayakan bandara sudah ada sejak 2003.
Awalnya, Pemerintah Provinsi Jawa Barat akan membiayai pembangunan bandara dengan APBD. Sayangnya, pembangunan bandara terus tertunda dan baru dimulai pada 2014.
BACA JUGA:Niat Wawan Purwandi Benahi Indramayu dengan Maju di Pilkada
Pemerintah pusat akhirnya turun tangan dengan mengalokasikan dana dari APBN. BIJB Kertajati kemudian masuk dalam Program Strategis Nasional (PSN) pada 2016, sesuai Peraturan Presiden (Perpres) No3 tahun 2016 dan Perpres No 56 tahun 2018.
Pembangunan bandara kemudian digenjot, meski hingga kini belum juga tuntas. BJIB saat ini memiliki satu landasan pacu berukuran 3.000×60 meter dan terminal penumpang seluas 9,6 hektare dengan kapasitas 5,6 juta penumpang per tahun. Pembangunannya menelan biaya hingga Rp2,6 triliun.
BIJB Kertajati ditargetkan memiliki tiga landasan pacu dan terminal penumpang seluas 20,95 hektare dengan kapasitas 29,3 juta penumpang per tahun.
Ridwan Kamil, mantan Gubernur Jawa Barat, optimistis BIJB Kertajati sebagai bagian dari kawasan metropolitan Rebana (Cirebon-Patimban-Kertajati) yang akan berkembang pesat, terutama setelah tol Cisumdawu (Cileunyi-Sumedang-Dawuan) beroperasi.
CERITA MEREKA YANG MENJADI “KORBAN” BANDARA
Di balik mimpi dan harapan atas pembangunan BIJB Kertajadi, masih menyimpan sesak bagi masyarakat yang semula menetap dan menggantungkan hidup di lahan seluas 7.500 hektare tersebut.
Mulanya, ribuan hektare lahan itu berupa persawahan, perkebunan, dan permukiman namun terpaksa dialihfungsikan menjadi landasan pacu, Kertajati Aerocity, dan kawasan pengembangan perniagaan.
Tahun 2012 lalu, negosiasi pelepasan lahan warga dimulai. Timan, salah satu petani Desa Sukamulya Kecamatan Kertajati mengingat kala itu, ia bersama tujuh warga lain mengurus pembayaran untuk ganti rugi pembebasan lahan, hingga ke kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Majalengka.
BACA JUGA:Pembatik Cirebon Sebut Malam Sawit Terlalu Lengket dan Ketahanannya Masih Dipertanyakan
Alih-alih puas dengan uang yang didapat, Timan malah dikejutkan dengan kabar bahwa tanah warisan orang tua yang didiami bertahun-tahun tiba-tiba telah bersertifikat atas nama orang lain. Entah, ia tidak ingat nama itu siapa.
Sepanjang ingatannya, kedua orang tuanya mulai menempati tanah itu sejak Kasman Karsoeno, seorang tokoh lokal membuka hutan dan mempersilakan warga menggarap lahan tersebut puluhan tahun silam.
Menurut cerita, tanah yang mereka tempati ini merupakan bekas wilayah gerombolan pemberontak yang membubarkan diri. Kasman Karsoeno, pada sekitar tahun 60-an, mengambil alih lahan dan membaginya kepada warga. Pembagian lahan ini yang kemudian menjadi asal mula terbentuknya Desa Sukamulya.
Baik Timan maupun warga tidak pernah mengetahui secara pasti asal-usul kepemilikan lahan itu. Status kepemilikan lahan yang tidak terang membuat Timan harus menelan kenyataan pahit bahwa ia tidak berhak mendapat ganti rugi dan terancam kehilangan segalanya.
Dia tidak bisa berbuat banyak, kecuali menumpahkan seluruh “sesaknya”. Emosi laki-laki berusia 60 tahun itu tersulut.
Dia bersikeras bahwa tanah itu miliknya dan oleh karenanya, ia berhak mendapat ganti rugi penuh akibat adanya Pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) di Kecamatan Kertajati Kabupaten Majalengka.
BACA JUGA:Sementara Raih 8 Emas, Kabupaten Cirebon Berpeluang Juara Umum Pencak Silat Popwilda 2024
“Yang makan uang saya, (kena tulah) turun ke mata, tidak bisa melihat, terkena stroke, tidak bisa jalan! Kata saya begitu. Saya mencak-mencak di sana,” teriak Timan, menceritakan kejadian di BPN Majalengka kala itu.
Selain kehilangan status kepemilikan lahan, menurutnya, dalam proses pembebasan lahan tersebut, warga tidak memiliki ruang negosiasi.
Proses ganti rugi terjadi tanpa kesepakatan, uang sudah dicairkan ke pihak ketiga dan baru diberikan kepada warga. Dengan dalih sertifikat yang bukan atas namanya, Timan hanya mendapatkan separuh dari uang ganti.
“Ya, sayanya orang bodoh sih. Ya, duitnya karena sudah diambil. Kemudian, diberikan ke saya yang harusnya Rp100 juta, malah Rp50 juta. Jadi, saya tuh dibohongin. Harusnya Rp100 juta, dibebodo (dibohongin),” kata Timan.
Bermodal dengang uang ganti rugi hanya Rp50 juta, terang saja Timan kesulitan membeli lahan baru, juga membangun rumah. Terlebih lagi, sejak kabar bandara akan dibangun, harga tanah di sekitarnya melonjak tinggi.
Dengan berat hati, Timan menggadaikan sawah miliknya yang tersisa seharga Rp21 juta demi sebidang tanah untuk ditinggali. Tapi lagi-lagi tetap saja tidak cukup untuk membangun rumah baru.
Hingga akhirnya, ia memungut sisa-sisa bangunan lama untuk mendirikan rumah seadanya di Desa Mekar Mulya, tempat tinggal barunya yang berjarak sekitar 14 km dari rumahnya yang tergusur.
Areal sawah yang menyusut menyebabkan tawaran bedugan (sebutan lain untuk buruh tani, red) semakin jarang. Situasi itu membuatnya kesulitan menebus sawah seluas 175 bata yang digadaikan sepuluh tahun lalu.
BACA JUGA:Ahli Waris Korban Kecelakaan Kerja CSB Mall Terima Santuman BPJS Ketenagakerjaan
Untuk diketahui, 1 bata setara 14 meter persegi, atau dengan kata lain luas lahan Timan mencapai 2.450 meter persegi. Timan menyebut dirinya “korban bandara.”
Dalam Pembangunan BIJB Kertajati, Lima desa terdampak yaitu Desa Kertajati, Bantarjati, Sukakerta, Kertasari, dan Sukamulya. Kurang lebih 1.400 kepala keluarga harus tergusur dengan risiko kehilangan lahan, rumah, pekerjaan, dan seluruh kenangan di desa itu, demi mewujudkan ambisi Pemerintah Provinsi Jawa Barat memiliki bandara sendiri.
Selain Timan, ada Castim yang tak pernah menduga bahwa pada suatu hari yang baik-baik saja, ia diberi tahu tanah yang diwarisi orangtuanya telah dimiliki orang lain. Kabar itu datang beriringan proses pembebasan lahan untuk bandara. Luas lahan yang dimiliki Castim mencapai 50 bata atau 700 meter persegi.
Castim kebingungan. Sepengetahuannya, pada masa orang tuanya dulu memang tidak ada istilah sertifikat. Dia hanya mengenai istilah kikitir atau bukti pembayaran pajak tanah zaman dulu. Castim mengaku memiliki kikitir tersebut.
“Namanya tanah dapat membuka lahan. Jadi kalau dulu punyanya kikitir. Wadahna oge dina bumbung (disimpan di tabung dari bambu),” kata Castim.
Akibat ketidakjelasan surat-surat kepemilikan, Castim hanya mendapat pembayaran kurang dari Rp200 juta untuk rumah, tanaman, dan tanah. Untuk tanah, menurut Castim, penggantiannya hanya Rp480 ribu per bata.
Sama seperti yang dialami Timan, Castim juga putus akal saat mencari lahan pengganti lantaran harga tanah di sekitar BIJB Kertajati naik drastis.
BACA JUGA:Goda Luthfi Nyalon Bupati, Ayu: Nanti Bisa Dampingan
Castim yang berniat pindah ke Desa Mekar Mulya juga kaget mendapati harga tanah sudah mencapai Rp2 juta per bata. Alhasil, uang gusuran hanya bisa dibelikan tanah.
“Ya coba saja menjual (ke pemerintah) dihargai Rp480 ribu per bata, kalau beli Rp2 juta per bata. Ya, tidak bisa menambah bagus bawa rumah dari sana, tidak bisa mendirikan rumah,” kata kakek 73 tahun ini sambil menunjukkan rumahnya yang dibangun seadanya dari sisa-sisa rumah lama.
Realitas usai BIJB Kertajati dibangun tidak semanis janji para pejabat yang menyebut perekonomian warga sekitar akan berkembang. Kondisi yang dialami Castim justru sebaliknya. Ia kesulitan menggarap lahan dan semakin susah mendapat pekerjaan sebagai buruh tani. Otomatis penghasilannya jauh berkurang.
Hilangnya areal persawahan di Kertajati menghilangkan pula penghasilan Timan dan Castim.
Sebagai buruh tani di areal persawahan Kertajati, Castim bisa mendapat upah 30 karung gabah atau jika diuangkan senilai Rp6 juta setiap musim panen. Dalam setahun, sawah yang digarap Castim bisa dua kali panen. Kini, penghasilan itu raib.
TERJADI ALIH FUNGSI LAHAN
Penelitian Yayat Hidayat dkk. (2017) berjudul “Dampak Konversi Lahan Pertanian terhadap Ekonomi Rumah Tangga Petani Padi (Studi Kasus di Kecamatan Kertajati Kabupaten Majalengka Jawa Barat)” menunjukkan terjadi kerugian ekonomi yang dialami petani padi sebagai dampak alih fungsi lahan pertanian menjadi BIJB Kertajati.
Riset yang dilakukan 2016 dengan melibatkan 115 responden di tiga desa terdampak itu menemukan kerugian ekonomi berupa hilangnya kesempatan kerja pertanian sebesar Rp12.205.397 per hektare per tahun, berkurangnya pendapatan usaha tani padi sebesar Rp37.999.535 per hektare per tahun, dan berkurangnya penghasilan total rumah tangga petani sebesar Rp3.999.223 per tahun.
BACA JUGA:Semakin Mudah Menuju BIJB Kertajati, Kota Udang Juga Tawarkan Destinasi Wisata Menarik
Sebetulnya permintaan warga sederhana, yakni pemerintah mengganti kerugian dalam bentuk tanah, minimal seluas tanah yang mereka miliki. Keinginan itu dijamin UU No.41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, dimana lahan pertanian pangan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan secara sewenang-wenang.
UU itu juga mengatur penyediaan lahan pengganti terhadap lahan pertanian dilakukan berdasarkan kesesuaian lahan dengan dasar, yakni paling sedikit tiga kali luas lahan dalam hal lahan yang dialihfungsikan beririgasi, atau paling sedikit satu kali luas lahan apabila lahan yang dialihfungsikan tidak beririgasi.
Penyediaan lahan pertanian pengganti harus sudah masuk dalam RPJM dan RPJP instansi terkait pada saat alih fungsi direncanakan.
UU No.19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani pun melindungi hak pemilikan petani atas tanah. Lebih lanjut, pemerintah menjamin ketersediaan lahan minimal dua hektare bagi rumah tangga petani untuk mencapai kesejahteraannya.
PEMERINTAH BERDALIH
Pemerintah Kabupaten Majalengka menolak permintaan warga dengan alasan prinsip dalam pembebasan tanah itu kontrak lepas. Meski, pemerintah siap memfasilitasi masyarakat yang meminta dicarikan lokasi baru.
“Tapi, kalau anda ingin difasilitasi oleh kita pindahnya ke mana, kita tunjukkan, oh, harganya misalnya dibayar Rp50 ribu, harga di sana masih Rp25 ribu. Kalau saja pemilik lahan membeli lahan dalam waktu yang tidak terlalu lama jedanya, tentu mereka akan sangat untung,” kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Penelitian dan Pengembangan (Bappedalitbang) Kabupaten Majalengka, Yayan Sumantri.
Yayan menuduh kesulitan yang dialami petani disebabkan ketidakmampuan mengatur keuangan. Ia berdalih, pemerintah sudah membayar lebih tinggi dari harga pasaran dalam proses ganti rugi.
“Jelas nih harga tanah saya berdasarkan pasaran itu misalnya kalau dinilai jatuhnya Rp100 juta, pemerintah akan bayar itu dengan harga Rp200 juta. Tidak pernah satu objek tanah yang saya pahami, harga pasarnya Rp100 juta dibayar Rp100 juta. Tidak pernah. Pemerintah selalu membayar lebih mahal. Orang boleh berbicara tanah saya dibayar lebih murah, itu mah biasa,” ujar Yayan.
BACA JUGA:Pengembangan Metropolitan Rebana Butuh Singkronisasi dengan Pelaku Usaha
Yayan menambahkan pemerintah juga tidak melakukan pemaksaan dalam proses pengambilalihan lahan.
“Logika berpikirnya sederhana, kalau mereka menolak bisa dikonsinyasi (uang ganti rugi yang dititipakan) ke pengadilan. Apakah di Kertajati banyak yang konsinyasi? Enggak ada,” kilah Yayan.
Konsinyasi adalah uang ganti rugi yang dititipkan instansi yang memerlukan tanah kepada pengadilan ketika pemilik tanah tidak sepakat dengan besaran ganti kerugian.
GANTI BUNTUNG
Terpisah, Ketua Serikat Petani Majalengka (SPM), Sobirin menyebut, kompensasi atas tergusurnya aset mereka jauh dari rasa keadilan, terlebih lagi tanaman yang produktivitas setahunnya melampaui harga tersebut.
Nilai ganti kerugian itu pun tidak cukup untuk membayar waktu proses tanam, mulai dari benih hingga siap panen, yang bisa memakan waktu bertahun-tahun.
“Ini bukan ganti untung, tapi ganti buntung. Ya memang sakitlah kalau diceritakan mah. Waktu hitung-hitungannya juga warga gak diajak. Pas waktu pencairan juga, ketika ditanyain masalah harga, ya, kayak modelan saling menutupi tuh. ‘Gak tahu saya cuma kerja.’ Nanya ke ini, sama, ‘gak tahu saya cuma kerja,’” timpal Sobirin, korban penggusuran lahan di Kertajati, yang juga Ketua SPM.
Sobirin mencoba membandingkan harga yang dipatok pemerintah dengan tengkulak atau penebas untuk satu pohon mangga besar yang produktif. Dari perbandingan itu, Sobirin menilai pembayaran atas aset gusuran itu tidak adil.
BACA JUGA:Dia Ramayana Digadang-Gadang Bakal Ikut Ramaikan Pilbup Cirebon
Dalam sistem kontrak, Sobirin menjelaskan penebas menghargai satu pohon mangga senilai Rp1 juta setiap tahun. Pemilik pohon mendapat uang bersih sebesar itu setiap tahun selama pohon itu dikontrak sesuai kesepakatan kedua belah pihak.
Jika pohon mangga itu dirawat dan dipanen sendiri, Sobirin menghitung, satu pohon mangga besar bisa menghasilkan hingga 4 kuintal dalam satu kali panen atau petik. Dalam satu tahun atau musim tanam, satu pohon mangga bisa dipanen 4-5 kali.
“Kalau misalnya dalam satu tahun lima kali panen, berarti dapat sekitar 2 ton. Kalau harga sekilo Rp5 ribu saja, sudah dapat Rp10 juta,” beber Sobirin melalui sambungan telepon, Kamis 2 Mei 2024.
Bandingkan dengan harga Rp500 ribu yang dipatok pemerintah untuk mengganti kehilangan satu pohon mangga.
“Ya begitulah cara pemerintah di negara kita untuk menyejahterakan rakyatnya,” sindir Sobirin sambil tertawa sinis. (hsn)
Sumber: