Mayoritas Santri Bina Insan Mulia Program Tarjamah Lulus Hafalan Tarjamah Al-Quran 30 Juz

BERI SAMBUTAN. Pengaruh Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon, KH Imam Jazuli Lc MA saat memberikan sambutan dalam acara wisuda kelulusan. FOTO : IST/RAKYAT CIREBON--
CIREBON, RAKYATCIREBON.DISWAY.ID - Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon terus menggeber inovasi dan prestasi membanggakan. Setiap programnya, hasilnya sangat memukau. Salah satunya Program Tamyiz dan Tarjamah Al-Quran.
Program ini, di Bina Insan Mulia Cirebon juga menjadi salah satu program unggulan. Tamyiz mengajarkan cara membaca kitab kuning dari sisi kaidah bahasa Arab dengan metode baru. Program ini diikuti para santri yang telah lulus di Program Tahsin Al-Quran dan Progam Tahfidz Al-Quran.
Sebelumnya, dari program terakhir tadi, Pesantren Bina Insan Mulia telah mencetak ratusan hafidz dan hafidzah hanya dalam waktu 4 bulan. Waktu yang cukup singkat. Lulusannya pun membanggakan. Diterima di sejumlah kampus internasional di Timur Tengah dan dalam negeri.
“Dari 822 santri yang mengikuti Program Tahfidz, ada 309 yang berhasil menghafal 30 juz. Artinya, jumlah itu mendekati 38%” ungkap Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon, KH Imam Jazuli Lc MA.
Sisanya, menurut Imam Jazuli, berhasil mencapai prestasi variatif. “Ada yang hafal 25 juz, 20 juz, 10 juz dan 5 juz,” jelasnya.
BACA JUGA:Sekolah Rakyat dengan Tarif Mahal APBN
Tingkat kelulusan Program Tamyiz & Tarjamah jauh lebih memukau. Dari 282 santri yang mengikuti program ini, sebanyak 268 santri yang lulus 30 juz tarjamah al-Quran. “Artinya, hampir 95% peserta program ini lulus dengan hasil terbaik,” tegasnya.
Dengan Program Tamyiz dan Hafalan Tarjamah Al-Quran perkata ini, para santri telah melewati proses yang membekali mereka untuk memahami Al-Qur'an secara lebih utuh dan lebih bagus. Ditambah lagi dengan pembekalan mengenai tata bahasa Arab.
“Mereka di-drill untuk memahami dan menghafal tarjamah Al-Quran perkata 30 Juz dan tata bahasa,” ungkap Kiai Imjaz.
Menurut Kiai Imam Jazuli, program Tamyiz dan Tarjamah juga menjadi bekal penting untuk menjadi ulama yang moderat dengan melanjutkan studi ke Timur Tengah, baik melalu jalur beasiswa maupun jalur kerjasama (MoU).
“Sudah ratusan alumni Bina Insan Mulia yang melanjutkan study ke berbagai kampus di Timur Tengah, baik yang mengambil jurusan keislaman dan non-keislaman. Bekal Al-Quran dan bahasa Arab akan memudahkan mereka untuk menjadi tokoh yang moderat,” tegas Kiai Imam.
Menurutnya, Indonesia kini dan ke depan, membutuhkan ulama yang moderat. Dalam arti ulama yang punya pemahaman agama mendalam. Punya wawasan yang luas dari berbagai disiplin ilmu dan perspektif, serta memiliki kerendahan hati.
“Ulama moderat tidak sedikit-sedikit menyalahkan pihak lain yang berbeda, mengatakan tidak syar’i terhadap praktik agama orang lain, apalagi dikit-dikit mengkafirkan,” ujarnya.
Kata Imjaz--sapaan untuknya, sejarah perjalanan Islam pernah dinodai oleh orang-orang yang gemar mempelajari agama, namun kurang ilmu dan kurang kerendahan hati. Akhirnya lahirlah kelompok ekstrim, seperti Dzil Khuwaishir dan Ibnu Muljam.
“Dzil Khuwaishir berani memprotes Rasulullah SAW yang ia tuduh tidak adil dalam membagi ghanimah (harta rampasan perang), sementara Ibnu Muljam berani menghunus pedangnya untuk membunuh Sayyidina Ali. Kelompok ini melesat dari agama seperti anak panah yang melesat dari busurnya,” paparnya.
Selain itu, Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma'ahid itu juga menjelaskan mengenai pembelajaran berbasis program. Penerapan sistem pembelajaran berbasis program di Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon menjadi langkah revolusioner.
BACA JUGA:Kiai Imam Jazuli: Waspadai Hafalan Al-Quran Hanya Sampai Tenggorokan
Sistem ini terbukti menghasilkan capaian pembelajaran yang lebih cepat. Lebih terukur, dan lebih mudah untuk disesuaikan dengan kebutuhan. Karena itu, lebih mudah juga untuk dievaluasi.
“Ini berbeda dengan pembelajaran berbasis buku. Capaiannya diukur berdasarkan buku sehingga lebih lama, banyak pengulangan, dan belum tentu cocok dengan kebutuhan," katanya.
"Teman-teman saya dulu sudah belajar banyak kitab di pesantren, tetapi ketika dites untuk masuk ke kampus-kampus di Timur Tengah, mereka gagal karena apa yang dipelajari tidak sesuai dengan kebutuhan,” tukasnya. (zen)
Sumber: