Paguyuban Silihwangi Perjuangkan Zona Tradisional di Gunung Ciremai

Paguyuban Silihwangi Perjuangkan Zona Tradisional di Gunung Ciremai

RAKYATCIREBON.ID - Paguyuban Silihwangi Majakuning yang beranggotakan Kelompok Tani Hutan (KTH) di 23 desa penyangga kawasan TNGC, semakin gigih memperjuangkan suara masyarakat. Mereka ingin mendapatkan haknya yaitu pemungutan hasil hutan bukan Kkayu (HHBK). Untuk memuluskan rencana tersebut, paguyuban mengadakan pertemuan di Aula Curug Sawer Cisantana, Kamis (29/3).

Ketua Paguyuban Silihwangi, Eddy Syukur bersama sekretaris Jejen Fahrozi bertemu dengan anggota KTH dan kepala desa yang berasal dari 6 desa penyangga. Yakni Desa Cisantana, Sagarahiang, Karangsari dan Gunungsirah,  

“Pertemuan kali ini silaturahmi saja, kemudian sosialisasi tentang Peraturan Dirjen KSDAE Nomor 6 Tahun 2018. Tentang HHBK. supaya tidak ada salah paham dan gagal paham. Ini semua keinginan murni dari masyarakat zona penyangga, melalui Kelompok Tani Hutan. Supaya kita mengawal, sesuai aturan yang berlaku, tentang revisi zona tradisional di Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai,” jelas Eddy.

Dihadapan KTH, Edi menyampaikan bahwa aturan ini jelas dan pasti legal yang mengatur Petunjuk Teknis Kemitraan Konservasi, pada Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Anggota KTH diharapkan memaklumi isu pro kontra yang berkembang saat ini di Kuningan, sebagai bagian dari kebebasan berpendapat.

Pemungutan HHBK yang diusulkan tentu berdasarkan 5 prinsip. Yaitu evidence base, yang factual dari mulai sejarah adanya tanaman komoditi yang bisa dimanfaatkan. Kemudian Scientific Base, pelaksanaan kemitraan ini berdasarkan atas keilmuan, kajian komprehensif, serta adanya analisa yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Lalu experience base, HHBK telah dilakukan ditempat lain, seperti di sejumlah Taman Nasional, seperti TN Halimun Salak, Gunung Gede Pangrango. “Pola kemitraan ini dulu sebelum  menjadi Taman Nasional sudah diterapkan bersama masyarakat. Sekarang kita lihat keberadaan pohon pinus. Awalnya itu bukan tanaman Perhutani, bukan tanaman pemerintah, melainkan tanaman masyarakat,” tegasnya.

Pola kemitraan ini, lanjut dia, sangat menganut precautionary, prinsip kehati-hatian. Seperti menjaga hutan dari kerusakan dan kebakaran. Sosialisasi juga mempertegas, pemungutan HHBK oleh masyarakat di desa penyangga tak akan merusak hutan, justru masyarakat akan menjaga hutan.

Sementara itu, Sekretaris Paguyuban Jejen Fahrozi berkomitmen memperjuangkan dengan konsisten kebutuhan masyarakat akan keberadaan zona tradisional. Dirinya mengajak masyarakat KTH, pemerintah daerah, untuk mendorong bagaimana perubahan zona tradisional ini diresmikan di TNG Ciremai.

“Karena perubahan zona ini kebutuhan semua pihak, jadi bukan hanya zona tradisional, ada juga zona religi, budaya bahkan zona khusus. Jadi, dengan pertemuan kami bersama KTH kali ini, tidak usah risau, tidak usah ragu. Adanya pro kontra itu biasa. Itu yang paling utama. Tetap jaga keutuhan, karena kita sama-sama bersaudara,” terangnya.

Menurutnya, 23 KTH di Paguyuban telah terdidik selama 17 tahun, telah memahami kaidah konservasi. “Kami dari Paguyuban Silihwangi Majakuning, seluruh masyarakat Majalengka dan Kuningan mari bersama sama bahu membahu memberikan saran pandangan dan lainya. Supaya Gunung Ciremai ini bisa terkelola dengan baik, kolaburatif dan partisipatif. Selain menjaga kelestarian, tapi juga membawa manfaat untuk kesejahteraan bersama,” ajak Jejen. (bud)

Sumber: