Tidak Kalah dari Kartini, Mengenal Sosok Rahmah El-Yunusiyah

Tidak Kalah dari Kartini, Mengenal Sosok Rahmah El-Yunusiyah

SUATU hari pada 1928, perwakilan dari Muhammadiyah datang kepada Rahmah El Yunusiyah. Utusan itu meminta Rahmah untuk mengalihkan pengelolaan Madrasah Diniyah Putri kepada Muhammadiyah saja. Sekolah khusus perempuan ini memang sedang membutuhkan dana besar, gedungnya nyaris ambruk setelah gempa bumi mengguncang Sumatera Barat dua tahun sebelumnya.

Lantas, bagaimana reaksi Rahmah El Yunusiyah atas tawaran tersebut? Dalam buku Peringatan 55 Tahun Diniyah Putri Padangpanjang (1978), Hamka mengungkapkan penolakan Rahmah. Perempuan tangguh ini menegaskan bahwa ia masih sanggup mengurus sekolah yang dirintisnya sejak 1923 itu. Rahmah tetap percaya kepada kekuatan yang diberikan Allah (hlm. 27).

Rahmah El Yunusiyah memang sangat teguh dalam memegang serta menjalankan prinsipnya. Dikelola sendiri bersama para wanita hebat lain, Madrasah Diniyah Putri mampu melewati masa demi masa, bahkan masih eksis hingga saat ini. Rahmah senantiasa meyakini dan telah membuktikan bahwa perempuan tidak melulu harus kalah dari kaum lelaki.

Madrasah Diniyah Putri merupakan satu dari sekian banyak peninggalan berharga yang ditinggalkan Rahmah El Yunusiyah sejak wafatnya pada 26 Februari 1969, tepat hari ini 49 tahun silam. Wanita asli Minangkabau ini adalah salah satu perempuan Indonesia paling berpengaruh pada abad ke-20, yang perjuangannya mencakup banyak aspek kehidupan serta melintasi berbagai periode zaman.

R.A. Kartini boleh saja dianggap sebagai pelopor emansipasi perempuan, namun kiprah Rahmah El Yunusiyah tidak bisa dipandang remeh. Sepak terjangnya bahkan lebih luas, lebih berliku, dan berlangsung lebih lama ketimbang Kartini yang meninggal pada usia 25.

Rahmah adalah penggerak utama kemajuan kaum perempuan di Sumatera Barat pada masanya. Kualitasnya diakui di level internasional. Ia kerap berperkara dengan orang-orang Belanda, pernah diadili dan dicekal pemerintah kolonial, kemudian ditahan Belanda pada masa Revolusi. Rahmah sempat duduk di parlemen setelah RI merdeka, bahkan pernah pula dicap sebagai pemberontak oleh rezim Sukarno.

Ketika Kartini wafat pada 1904, Rahmah El Yunusiyah baru berusia 4. Ia lahir pada 29 Desember 1900 di Nagari Bukit Surungan, Padangpanjang, Sumatera Barat. Sesuai tuntutan adat, Rahmah kawin muda pada usia 16 kendati pernikahan itu hanya bertahan 6 tahun saja. Setelahnya, Rahmah menjelma menjadi sosok perempuan yang berpengaruh.

Setahun setelah perceraiannya pada 1 November 1923, seperti diungkap Edwar dalam Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat (1981), Rahmah merintis Madrasah Diniyah Li al-Banat atau Diniyah Putri. Sekolah khusus untuk siswa perempuan ini merupakan bagian dari Diniyah School yang didirikan Zainuddin Labay El Yunusy pada 10 Oktober 1915 (hlm. 185). Zainuddin adalah kakak kandung Rahmah.

Rahmah semula adalah salah satu siswa di sekolah milik abangnya itu. Namun, ia merasa murid-murid perempuan masih kurang berperan dalam proses pembelajaran, termasuk malu bertanya dan mengungkapkan pendapat karena dominasi murid laki-laki. Selain itu, ia juga menilai banyak materi pelajaran yang tidak tersampaikan secara jelas kepada siswa perempuan. Salah satu penyebabnya: sebagian besar pengajar adalah pria.

Dari situlah Rahmah El Yunusiyah mulai memikirkan rencana untuk membuka sekolah sendiri bagi kaum perempuan. Rencana tersebut akhirnya terwujud kendati tidak mudah. Pada usia yang masih sangat muda, Rahmah sudah sadar akan pentingnya emansipasi kaum perempuan.

\"Kalau saya tidak mulai dari sekarang, maka kaum saya akan tetap terbelakang. Saya harus mulai, dan saya yakin akan banyak pengorbanan yang dituntut dari diri saya. Jika kakanda bisa, kenapa saya tidak bisa? Jika lelaki bisa, kenapa perempuan tidak bisa?” kata Rahmah kepada Zainuddin, seperti dikutip dari buku Ulama Perempuan Indonesia karya Junaidatul Munawaroh (2002: 12).

Ketika keinginan itu mulai terealisasi, cobaan datang menerpa. Pertengahan Juli 1924, Zainuddin meninggal dunia secara tak terduga. Kondisi ini tentu saja cukup berat bagi Rahmah yang kehilangan sosok panutan. Namun, ia tak menyerah. Sekolah Diniyah Putri justru kian diminati.

Pada 1925, menurut Abuddin Nata dalam Tokoh-tokoh Pembaruan dan Pendidikan Islam di Indonesia (2005), Diniyah Putri menempati gedung bertingkat dua, meliputi ruang-ruang kelas, kantor guru, hingga asrama yang dihuni lebih dari 60 siswa pada angkatan pertama. Tahun berikutnya, peminat tambah banyak, kelas dan asrama pun tak muat lagi. Maka, sejak awal 1926, Rahmah mulai merintis pembangunan gedung baru.

Gedung anyar belum sepenuhnya berdiri, Rahmah kembali dilanda musibah. Gempa bumi berkekuatan 7,2 skala richter mengguncang Sumatera Barat pada 28 Juni 1926. Padangpanjang luluh lantak, termasuk gedung sekolah Diniyah Putri yang lama maupun calon bangunan baru. Namun, sekali lagi, Rahmah ogah menyerah.

Sumber: