Radikalisme, Makhluk Apakah Itu?
Seruan Prof. Hosen perlu digaribawahi karena beberapa alasan. Pertama, penyebaran ideologi radikal cenderung menyasar kampus-kampus umum, yang tidak mengajarkan materi agama. Tujuh universitas negeri yang diidentifikasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), semuanya adalah kampus umum. (Dalam kaitan ini, banyak kalangan mempertanyakan wisdom Presiden Jokowi menunjuk purnawirawan sebagai Menteri Agama dengan mandat menangkal radikalisme, karena radikalisasi anak muda justeru terjadi di luar wilayah kementerian agama.)
Penelitian kami mengungkapkan infiltrasi paham dan kelompok radikal ke dunia kampus umum mudah terjadi karena tidak adanya “wacana tandingan” dan pemahaman keagamaan alternatif untuk melawan paham radikal. Tentu solusinya bukan menambah pelajaran agama, melainkan penekanan pada critical thinking yang seharusnya menjadi fondasi kehidupan intelektual mahasiswa kampus.
Kedua, fenomena radikalisasi anak muda terpelajar tampaknya mengikuti prinsip “mudah masuk, mudah keluar.” Barangkali karena minimnya pengetahuan agama, banyak mahasiswa begitu mudah tertarik pada kegiatan kelompok radikal, ikut pengajian atau yang dikenal dengan “liqa” (pertemuan).
Kami menemukan, sebagian besar mahasiswa baru terlibat aktivitas radikal ketika memulai kuliah. Jadi, mereka bisa digolongkan “newbie”, dan karenanya juga gampang meninggalkan kelompok radikal karena alasan-alasan yang sederhana, seperti susah melupakan hobinya mendengarkan musik atau larangan pacaran.
Ketiga, kebijakan program deradikalisasi yang “sekadar main hantam saja” (meminjam bahasa Prof. Hosen) bukan hanya dikhawatirkan tidak menyentuh akar masalah, tapi juga mengabaikan potensi deradikalisasi-diri (self-deradicalization) yang kerap terjadi di kalangan anak muda terpelajar. Perlu dicatat, walaupun ada orang merasa “menemukan kebenaran” setelah bergabung dengan kelompok radikal, tidak sedikit juga yang mengaku berada di jalan yang salah dan akhirnya kembali memilih kehidupan normal.
Mereka yang terekspose ke dalam kelompok radikal punya kesempatan untuk mempertanyakan dampak paham radikal terhadap dirinya, keluarga, dan masyarakat sekitarnya. Mereka menolak praktik dogmatik ideologi absolutis yang diberlakukan kelompok radikal bukan karena hendak mengikuti versi Islam yang direstui pemerintah. Meminjam Michel Foucault, dengan technologies of the self, seseorang punya kapasitas untuk menentukan pilihan dan berbuat sendiri, tanpa tekanan dari pemerintah.
Karena itu, program deradikalisasi pemerintah jangan dilakukan “sekadar main hantam saja.” Apalagi, secara naif, merasa berhak mengubah pemahaman keagamaan seseorang dan menganggap setiap orang yang berbeda pemahaman sebagai “manipulator agama.”
Ada dua cara menyelesaikan masalah, termasuk radikalisme: smart way atau stupid way. Mau pilih yang mana?
Penulis: MUN\'IM SIRRY
Sumber: