Radikalisme, Makhluk Apakah Itu?

BELAKANGAN istilah “radikalisme” menjadi buzzword yang begitu populer. Sejumlah kementerian dalam kabinet Presiden Joko Widodo periode kedua diberi mandat khusus menangkal radikalisme agama. Kabar teranyar, Presiden Jokowi mengusulkan istilah “radikalisme” diganti dengan “manipulator agama”. Apa yang sesungguhnya terjadi?
Literatur tentang radikalisme sebenarnya sangat luas, walaupun di Indonesia istilah tersebut belum menjadi perdebatan kesarjanaan yang memadai. Akibatnya, radikalisme dikaitkan dengan hal-hal problematik. Misalnya, ujung dari proses radikalisasi ialah kekerasan atau terorisme. Pemahaman semacam ini berimplikasi pada strategi deradikalisasi, yakni program rehabilitasi untuk mengubah pemahaman keagamaan radikal.
Kekeliruan premis di atas berawal dari kebingungan epistemik: Kok, bisa orang yang tampak taat beragama melakukan aksi kekerasan dan terorisme, meledakkan dirinya demi membunuh orang lain? Bagaimana mungkin agama digunakan untuk membenarkan tindakan tidak manusiawi tersebut? Pastilah ada yang salah dalam cara mereka beragama sehingga mereka lebih tepat disebut “manipulator agama.”
Banyak hal bisa didiskusikan dari kesalahan premis di atas. Tulisan ini hanya akan menyorot keterkaitan antara radikalisme dan kekerasan terorisme. Jika ada kesempatan akan dilanjutkan dengan tulisan lain untuk memetakan rute menuju radikalisme, yang sebenarnya tidak sesederhana yang kita duga.
Radikalisme dan Terorisme
Literatur mutakhir mulai mempertanyakan keterkaitan radikalisme dengan terorisme. Sebab, tidak semua Muslim radikal melakukan tindakan terorisme, dan tidak semua kaum teroris melakukan aksinya atas dasar pemahaman keagamaan radikal.
Tentu perlu ada kejelasan kapan seseorang bisa dikatakan radikal. Pemahaman keagamaan apa saja yang dikategorikan radikal? Beberapa kasus mungkin bisa disepakati. Misalnya, ide mendirikan negara Islam atau mengganti Pancasila dengan khilafah; sikap intoleran terhadap agama atau kelompok lain, termasuk penolakan kepemimpinan non-Muslim. Dalam spektrum yang lebih luas, mungkin, bisa disebutkan dukungan atau sikap simpatik terhadap kelompok radikal-teroris, seperti ISIS atau kelompok-kelompok jihadis lain.
Sumber: