Sejarah Kelam dan Memilukan, Waspadai Bahaya Laten Komunis
Selasa 03-10-2017,09:00 WIB
BAHAYA laten paham komunis harus tetap diwaspadai, meskipun Partai Komunis Indonesia (PKI) telah tiada pascainsiden gerakan pemberontakan 30 September 1965 silam yang kemudian disebut G30S/PKI. Maka tak heran, salah satu upayanya adalah dengan pencerahan sejarah.
|
Radar Cirebon Group gelar nobar film G30S/PKI di studio Kaliandra. Foto: Fajri/Rakyat Cirebon |
Sebagai sejarah kelam, pemberontakan PKI tentu tidak boleh terulang. Pesan itu disampaikan melalui film G30S/PKI yang diputar di berbagai pelosok negeri.
Radar Cirebon Grup seolah tak ingin tertinggal dalam pemutaran film yang disutradarai Arifin C Noer tersebut. Tadi malam, para politisi, tokoh, sampai masyarakat biasa, berbaur nonton bareng (nobar) film G30S/PKI di gedung Kaliandra Radar Cirebon Televisi.
Ketua GM FKPPI, Dani Jaelani menyampaikan apresiasinya atas kepekaan Radar Cirebon Grup dalam memberikan edukasi sejarah kepada masyarakat, khususnya generasi muda. \"Kita sangat mengapresiasi pemutaran film yang dilakukan Radar Cirebon Grup ini. Saya kira ini fakta sejarah yang harus diungkapkan kepada masyarakat,\" ungkap Dani.
Menurutnya, pemberontakan PKI pada 1965 silam merupakan sejarah memilukan bagi bangsa Indonesia. Pengkhianatan yang berujung rong-rongan terhadap bangsa Indonesa justru datang dari dalam. \"Rong-rongan juga bisa dari dalam negeri. Makanya bahaya laten komunis harus diantisipasi,\" ujarnya.
Dani juga menilai, masyarakat dewasa ini harus tetap memiliki kewaspadaan terhadap paham komunis yang gejalanya masih ada. Makanya, ia menganggap, langkah TNI untuk memutar film G30S/PKI sudah tepat, sebagai wahana pembelajaran masyarakat agar tidak terulang di kemudian hari.
\"Kita harus tetap waspada terhadap gerakan paham komunis. Karena kalau gejala sudah terlihat. Makanya negara melalui TNI memutar film ini, agar masyarakat tahu sejarah pemberontakan PKI,\" tuturnya.
Selain itu, Dani juga berharap, Dinas Pendidikan Kota Cirebon memutar film serupa di setiap sekolah. Bersamaan dengan itu, lanjut Dani, pemasangan foto pahlawan juga penting untuk tetap dilakukan. \"Imbauan kepada Dinas Pendidikan supaya di sekolah-sekolah juga diputar. Minimalnya ada foto-foto pahlawan. Karena sekarang jarang sekali,\" katanya.
Sementara itu, seorang saksi sejarah pemberontakan PKI tahun 1965, Sutrisno menuturkan, insiden tersebut merupakan sejarah pahit bangsa Indonesia. Saat itu, Sutrisno berusia 21 tahun dan menetap di Jakarta. Ia tahu pemberontakan yang terjadi. \"Banyak masyarakat dijanjikan, kalau PKI menang akan dikasih jabatan strategis. Seperti jabatan lurah dan lainnya, saat itu,\" ungkap Sutrisno.
Pria yang kini menetap di Sumber Kabupaten Cirebon itu juga mengenang, ketika pemberontakan PKI, dirinya hampir kesulitan memisahkan antara masyarakat non PKI dengan kader ataupun simpatisan PKI. \"Saat itu sulit memisahkan mana teman mana PKI. Karena memang masif turun ke masyarakat. Yang pasti sejarah yang sangat kelam,\" katanya. (jri)
Sumber: