JaF Memungkinkan Semua Orang Miliki "Pabrik" Oksigen Pribadi Melalui Hutan Kolektif Tanaraya

JaF Memungkinkan Semua Orang Miliki

PABRIK OKSIGEN. Jatiwangi art Factory (JaF)) menginisiasi penjualan hutan Tanaraya melalui sistem booking kavling untuk umum. --

RAKCER.DISWAY, MAJALENGKA - Memiliki hutan pribadi seringkali dianggap sebagai fantasi yang terlalu ambisius dan hampir mustahil untuk diwujudkan bagi kebanyakan orang.

Namun di Majalengka, sebuah peluang revolusioner kini terbuka lebar berkat inisiatif dari para pelaku ekonomi kreatif (Ekraf) yang tergabung dalam Jatiwangi art Factory (JaF).

Mereka telah meresmikan gagasan ambisius bernama Hutan Tanaraya melalui pembentukan Perusahaan Hutan Tanaraya (Perhutana).

BACA JUGA:Piknik Asyik di Kuningan: Air Terjun, Hutan, dan Pemandangan yang Bikin Ning

Dengan konsep inovatif ini, setiap individu kini berkesempatan untuk memiliki sebidang hutan, yang secara efektif berfungsi sebagai 'pabrik' oksigen kolektif.

Direktur Perhutana, Ginggi Syarif Hasyim, menjelaskan bahwa proyek ini berakar dari serangkaian diskusi mendalam yang rutin mereka selenggarakan.

"Sebenarnya, ini adalah hasil dari forum diskusi bulanan kami," ungkap Ginggi.

"Suatu saat, topik pembicaraan kami bergeser ke soal hutan. Selama ini, generasi kita cenderung menjadi generasi yang hanya menikmati warisan alam tanpa berpikir untuk mewariskan kembali," sambungnya.

Dari dialog tersebut, muncul pertanyaan mendasar sekecil apa hutan bisa didefinisikan? Setelah pencarian informasi dan diskusi, mereka menemukan bahwa definisi hutan tidaklah serumit yang dibayangkan.

BACA JUGA:Peredaran Rokok Ilegal Kian Marak, Pemkab Majalengka Gelar Operasi Gabungan

"Dari diskusi itu, ternyata, ketika ditanya hutan terkecil itu seberapa besar? Empat meter kali empat meter, sudah cukup. Begitu katanya," papar Ginggi.

Kesederhanaan definisi ini berpegangan pada prinsip ekologis. Ginggi menjelaskan bahwa pada dasarnya, sebuah area bisa dikategorikan sebagai hutan jika memenuhi syarat minimal, yaitu memiliki empat jenis elemen vegetasi yakni tanaman payung (pohon besar), tegakan (pohon sedang/tiang), semak, dan penutup tanah.

"Sehingga sangat logis jika setiap orang dapat mewariskan hutan hanya dengan membeli kavling seluas empat meter persegi dan menggabungkannya dengan kavling lain. Ini yang akan menjadi warisan berharga bagi generasi mendatang," tegasnya.

Meski kepemilikan individu hanya berukuran 4x4 meter, luasan keseluruhan Hutan Tanaraya jauh lebih besar.

Ginggi memaparkan bahwa Hutan Tanaraya direncanakan akan dibangun di atas lahan seluas 8 hektare, dengan 2 hektare diantaranya telah berhasil direalisasikan hingga saat ini.

BACA JUGA:Software Virtualisasi Terbaik 2025: Pilihan untuk Setiap Kebutuhan

Masyarakat umum diundang untuk menjadi bagian dari pemilik hutan ini dengan cara membeli satu kavling berukuran 4x4 meter.

Proses ini mengadopsi pola yang familiar dalam pengembangan properti, yaitu melalui sistem booking atau pemesanan kavling.

"Kami menggunakan pola pengembang properti yaitu booking kavling hutan. Setelah kavling itu dibayar, lahan tersebut akan diwakafkan kembali untuk kepentingan hutan kolektif. Pembeli kavling akan menerima sertifikat, dan setiap individu atau lembaga hanya diperbolehkan membeli satu kavling, dengan harga Rp4 juta per kavling," terangnya.

Antusiasme masyarakat terbukti tinggi. Ginggi mengumumkan bahwa 145 kavling telah "ternamai", yang menandakan bahwa 145 individu telah resmi menjadi bagian dari Perhutana Family Forest.

"Hari ini, kami memulai proses penanaman plot tanah 4x4 meter tersebut," tambahnya.

BACA JUGA:HP Kamera Jernih Harga Merakyat: 5 HP 3 Jutaan Terbaik 2025 yang Sudah Punya OIS dan Kamera 108MP!

Motivasi utama di balik penciptaan Hutan Tanaraya bukanlah keuntungan finansial semata.

Ginggi menegaskan bahwa tujuan esensial dari proyek ini adalah edukasi dan membangun kesadaran kolektif akan kebutuhan fundamental manusia yakni oksigen.

"Bagi kami, selain hutan itu sendiri nanti bermanfaat, prosesnya juga penting. Kami ingin ini menjadi proses penyadaran dan edukasi," ujarnya. Dia menyamakan keresahan akan oksigen dengan kebutuhan dasar lainnya.

BACA JUGA:Pemkab Majalengka Tegaskan SOP Ketat Cegah Keracunan Makanan pada Program MBG

"Sama halnya kita cemas jika tidak punya kamar tidur, kamar mandi, atau dapur. Kita juga seharusnya cemas dan punya dorongan untuk memiliki ruangan yang memproduksi oksigen sendiri," jelas Ginggi.

Ginggi berharap, inisiatif ini akan menggerakkan generasi saat ini untuk tidak hanya menjadi konsumen warisan, melainkan juga pewaris.

"Jangan-jangan kita hanya pintar memanfaatkan warisan. Kehadiran hutan kolektif ini bertujuan menumbuhkan kesadaran bahwa kebutuhan akan oksigen adalah kepentingan hidup yang paling mendasar. Kita tidak bisa terus-menerus mengandalkan oksigen dari warisan alam atau kinerja pemerintah saja. Kita harus punya 'pabrik' kita sendiri," pungkasnya. *

Sumber: