Respon Atas Forum Kultural NU Tebuireng Versus Madura-Cirebon
Mustasyar PBNU. FOTO: IST/RAKYAT CIREBON--
*** Menegakkan Kembali Khittah NU sebagai Organisasi Keulamaan
Oleh: KH Imam Jazuli Lc MA*
DINAMIKA internal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) belakangan ini telah memicu perdebatan serius tentang struktur kewenangan dalam organisasi. Perbedaan pandangan antara jajaran Syuriah dan Tanfidiyah menuntut analisis mendalam berdasarkan nalar organisasi dan, yang terpenting, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU.
Secara historis dan kultural, Nahdlatul Ulama didirikan sebagai wadah para ulama (Kiai) untuk menjaga, mengamalkan, dan mendakwahkan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama'ah. Pengurus Tanfidiyah (pelaksana harian) mengurus aspek manajerial, sedangkan Syuriah (dewan penasihat/pimpinan tertinggi) memegang otoritas keagamaan dan kebijakan strategis.
BACA JUGA:Respon Memanasnya Dinamika Internal PBNU, Forum Pengasuh Pesantren Ciwaringin Keluarkan Maklumat
Hepotesa di atas menggarisbawahi bahwa kepemimpinan di NU tidak semata-mata bersifat manajerial-administratif, seperti korporasi. Melainkan kepemimpinan spiritual dan keilmuan yang dipimpin oleh Syiuriah dan Rais Aam. Sebab, AD/ART NU secara eksplisit memperkuat nalar dasar ini.
Karena itu, jika persoalan dinamika organisasi terpaksa harus dikembalikan pada aturan tertinggi ini. Maka, posisi pasal 14 dan penjelasan pasal 18 AD NU bisa dimaknai sebagai ushul. Pasal-pasal ini (termasuk Bab VII Pasal 14 tentang Syuriyah dan Pasal 18 tentang Tugas dan Wewenang Syuriyah) merupakan prinsip dasar organisasi.
Di sana dijelaskan bahwa Syuriah adalah pimpinan tertinggi yang bertugas membina, mengawasi, serta memberikan keputusan hukum (fatwa) terkait pelaksanaan keputusan organisasi di semua tingkatan. Otoritas ini bersifat fundamental karena menyangkut arah keagamaan dan moral organisasi. Rais Aam secara ex-officio adalah ketua dan anggota pimpinan tertinggi ini.
Sementara pasal 74 AD/ART dimaknai sebagai furu'. Pasal yang sering digunakan oleh pihak Tanfidiyah dalam argumennya yang cenderung mempertahankan diri karena amanat Muktamirin ini adalah katagori cabang/prosedural. Dalam asas hukum, ada ungkapan "lex inferiori derogat legi superiori", bahwa peraturan lebih bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi).
Jadi, ketentuan prosedural ini tidak boleh menafikan atau bertentangan dengan prinsip dasar (ushul) yang telah ditetapkan dalam pasal-pasal lebih awal dan fundamental mengenai Syuriah. Oleh karena itu, wajar jika Nahdliyin mayoritas berpendapat, bahwa keputusan Syuriah memiliki kekuatan hukum tertinggi dalam hierarki internal organisasi. Mengabaikan keputusan Syuriah berarti mengabaikan ushul organisasi itu sendiri.
Dilema Forum Kultural: Islah vs Supremasi Marwah
Di tengah polemik ini, muncul dua kutub forum kultural: Pertama, forum Ploso dan Tebuireng: Keduanya menyerukan islah (perdamaian) dengan harapan tetap mempertahankan kepemimpinan Gus Yahya (Ketum Tanfidiyah) demi menjaga keutuhan. Seruan ini didasari oleh keinginan agar konflik segera usai.
Kedua, forum kiai Bangkalan dan Babakan Cirebon. Keduanya membela supremasi dan marwah Syuriah, dan menekankan pentingnya mengembalikan kepatuhan struktural kepada Rais Aam dan Syuriah sebagai pimpinan tertinggi. Forum ini juga diperkuat maklumat pengasuh pesantren Krapyak.
Meskipun kedua forum ini bersifat kultural (bukan forum resmi organisasi seperti Muktamar atau Pleno), pandangan beliau-beliau memiliki timbangan moral yang signifikan di mata warga Nahdliyin karena melibatkan para sesepuh dan kiai kharismatik. Namun, dalam konteks hukum organisasi formal, penyelesaian konflik harus merujuk pada mekanisme resmi yang diatur dalam AD/ART, seperti Majelis Tahkim jika diperlukan serta Pleno.
Sumber: