Keberadaan PLTU di pesisir Pantai Utara Cirebon terus menuai pro dan kontra. Warga dari lima desa di sekelilingnya, seperti Desa Waruduwur, Desa Bandengan, Desa Citemu, Kanci Kulon dan Kanci, masih merasakan berbagai dampak negatif dari keberadaan PLTU, baik dari segi ekonomi maupun lingkungan.
Pada Agustus 2024, gabungan warga dari empat desa menggelar aksi unjuk rasa di depan pintu masuk PLTU 2. Mereka menuntut PT Hyundai, salah satu pelaksana proyek PLTU, untuk memenuhi kesepakatan yang sebelumnya telah disetujui bersama.
“Kami menuntut PT Hyundai untuk melaksanakan kesepakatan yang sudah dibuat. Warga mengeluhkan kerusakan lahan tambak garam dan pencemaran laut yang menyebabkan hasil perikanan menurun drastis,” ujar Darun, koordinator aksi saat diwawancarai baru-baru ini.
BACA JUGA:Disdik Evaluasi Infrastruktur Sekolah, Soal Ambruknya Atap SMPN 1 Talun Tunggu Keputusan APH
Ia juga menambahkan, bahwa perhatian sosial terhadap warga terdampak masih sangat minim dan hanya dirasakan segelintir orang. “Sementara banyak warga yang terdampak tidak mendapat bantuan apapun,” ucapnya.
Di sisi lain, pemerintah desa telah mendapatkan dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari hasil lelang material sisa atau scrap di PLTU. Namun, warga menilai nilai yang diberikan belum memadai. Desa Kanci Kulon, misalnya, menuntut 50 persen dari hasil lelang, tetapi hanya menerima 20 persen.
Desa Waruduwur memiliki potensi sangat besar dalam sektor perikanan dan kelautan, terutama rajungan, kerang, dan ikan. Potensi ini diperkuat dengan karakteristik geografi wilayah Desa Waruduwur yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa.
Selain itu, potensi Desa Waruduwur pada sektor perikanan dan kelautan khususnya rajungan, kerang, dan ikan, tercermin dengan banyaknya nelayan, pengepul, pabrik, dan tempat pengupasan yang banyak terdapat di Desa Waruduwur. Pekerjaan masyarakat Desa Waruduwur saling berkaitan, seperti nelayan rajungan dengan buruh kupas rajungan.