Polemik Stasiun Cirebon: Antara Naming Rights dan Nilai Budaya

Selasa 07-10-2025,16:44 WIB
Reporter : Asep Saepul Mielah

Dalam kasus Cirebon, langkah PT KAI dan Batik Trusmi untuk menggunakan naming rights belum mencapai dua bentuk legitimasi terakhir: moral dan kognitif. 

Secara administratif mungkin sah, tetapi secara sosial belum diterima karena dianggap menyalahi rasa kepantasan budaya masyarakat.

Teori Social License to Operate (Gunningham, 2012) menegaskan bahwa keberlangsungan proyek bisnis atau kerja sama publik-swasta sangat bergantung pada penerimaan masyarakat. 

Lisensi sosial tidak tertulis dalam dokumen, tetapi termanifestasi dalam dukungan, kepercayaan, dan partisipasi publik. 

Tanpa legitimasi sosial, kebijakan yang secara hukum sah tetap berpotensi memicu resistensi sosial, bahkan krisis reputasi.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa komunikasi publik yang minim dialog dapat menggerus legitimasi sosial yang telah dibangun bertahun-tahun. Dalam praktik komunikasi korporat, kehilangan legitimasi berarti kehilangan kepercayaan yang merupakan modal utama keberlanjutan bisnis.

Karena itu, setiap kebijakan yang menyangkut identitas publik seharusnya menerapkan model komunikasi partisipatif (Freire, 1970), di mana masyarakat tidak sekadar diinformasikan, tetapi dilibatkan secara aktif dalam proses perumusan kebijakan.

Langkah ini bukan sekadar simbol demokrasi, tetapi bentuk penghormatan terhadap nilai budaya lokal, serta sarana menjaga hubungan harmonis antara institusi dan komunitas.

Dengan kata lain, legitimasi sosial hanya dapat dicapai melalui komunikasi yang transparan, empatik, dan partisipatif. 

Dalam kerangka komunikasi bisnis antar budaya, ini menjadi bentuk nyata dari tanggung jawab sosial perusahaan (corporate cultural responsibility), yaitu komitmen korporasi untuk menghormati simbol, nilai, dan aspirasi masyarakat tempat mereka beroperasi.

Kekuasaan Simbolik dan Resistensi Budaya

Sosiolog Pierre Bourdieu (1991) menyebut symbolic violence sebagai bentuk dominasi makna yang terjadi ketika pihak berkuasa mendefinisikan realitas sosial tanpa partisipasi pihak lain. 

Dalam konteks polemik Stasiun Cirebon, dominasi simbolik muncul saat kepentingan bisnis mencoba menafsirkan ulang ruang publik yang memiliki nilai sejarah komunal.

Bagi masyarakat Cirebon, harmoni (rukun) dan penghormatan terhadap warisan leluhur adalah nilai luhur. 

Maka, resistensi terhadap penghapusan nama “Kejaksan” merupakan reaksi budaya terhadap ketimpangan makna. Mereka bukan menolak kemajuan, tetapi menolak diabaikan.

Dengan kata lain, konflik ini bukanlah konflik ekonomi, melainkan konflik identitas —  pertarungan atas siapa yang berhak mendefinisikan simbol budaya bersama.

Kategori :