AKSI demonstrasi mahasiswa yang cukup merata secara nasional pada waktu belakangan ini menjawab pertanyaan, ke mana gerakan mahasiswa? Aksi mahasiswa terkait penolakan Omnibuslaw, RUU PKS, dan Biaya Pendidikan di masa pandemi menjadi bukti, mereka masih ada bersama kepentingan publik. Bagaimanapun harus diakui, gerakan mahasiswa selalu melekat dengan sejarah perubahan negeri ini. Perjalanan politik kebangsaan tak pernah lepas dengan peran mahasiswa yang menyertainya.
Pascareformasi, komitmen gerakan mahasiswa terhadap agenda kepentingan publik relatif tetap terjaga. Menariknya, gerakan mahasiswa kali ini juga dihiasi oleh gerakan awal yang masif di media sosial.
Terbukti, aksi mahasiswa pada 23 September 2019 yang memakai tagar #ReformasiDikorupsi mampu menggerakkan ribuan mahasiswa, baik di Ibu Kota maupun di daerah. Salah satu yang fenomenal adalah tagar #GejayanMemanggil yang diikuti oleh mahasiswa-mahasiswa di Yogyakarta.
Aksi turun ke jalan berlanjut hingga seminggu kemudian. Eskalasi dari gerakan mahasiswa ini membuat penanganan di lapangan cenderung memicu ketegangan dan represif. Bahkan, dalam unjuk rasa di Kendari, Sulawesi Tenggara, 26 September 2019, dua mahasiswa Universitas Halu Oleo meninggal.
Dalam artikelnya, Un-civil society: The politics of the ’informal people’, Asef Bayat mendefinisikan un-civil society adalah mereka yang mendukung aksi karena merasa terwakili, tetapi selama ini tidak bisa bergabung dalam aksi tersebut.
Kini, kesempatan mereka bergabung dalam aksi demonstrasi tak lepas dari upaya untuk mengambil peran dalam momentum demonstrasi mahasiswa tersebut. Dalam konsep Asef Bayat, mereka tak ingin lagi disebut sebagai un-civil society.
“Berbicara tentang gerakan mahasiswa tentu memiliki nilai yang berharga untuk peradaban bangsa. Saya diberikan label mahasiswa ini oleh rakyat dan Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah beban yang sangat besar. Oleh karenanya, sebagai mahasiswa harus mampu mengejawantahkan inti Tri Dharma Perguruan Tinggi pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat,” ungkap Gilang Gemahesa, yang saat ini menjabat sebagai Presiden Mahasiswa Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon.
Kepada Rakyat Cirebon, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon ini pada 16 Juli, berbagi ide, gagasan dan pemikiran tentang Gerakan Mahasiswa di Kopi WAW Cirebon.
Bagaimana gerakan mahasiswa saat ini…
Hari ini mahasiswa tetap masih ada idealismenya dan memegang teguh satu-satunya kaum intelektual yang tidak dapat diintervensi oleh siapapun. Kita di dalam kampus, di mimbar akademik berbicaranya bukan hanya kuliah saja tetapi kita mempunyai tanggung jawab dari Sabang sampai Merauke. Satu permasalahan di Indonesia berarti masalah mahasiswa semua. Apalagi mereka yang berada di organisasi, khususnya yang ada di BEM (red-Badan Eksekutif Mahasiswa). Bagi saya, BEM adalah rumah perjuangan dan penyambung lidah dari aspirasi atau keresahan yang ada di masyarakat.
Seberapa penting rumah perjuangan tersebut?
BEM sangat penting bagi wadah untuk mempelopori sebuah gerakan khususnya gerakan-gerakan kecil yang ada di dalam kampus. Dalam pandangan saya, hari-hari ini kesadaran atau kepekaan sosial sedikit berkurang dan bergeser akibat modernisasi. Kita kehilangan marwah bahwa mahasiswa itu engga boleh egois. Ini Tri Dharma Perguruan Tinggi sebagai prinsip yang harus kita junjung tinggi, kita jaga dan harus kita implementasikan pada kehidupan sehari-hari.
Mahasiswa disebut label sebagai moral force. Bagaimana tanggapan anda?
Label itu sangat berat bagi saya, ketika di dalam kehidupan sehari-hari kita tidak bisa mencerminkan hal tersebut. Oleh karena itu, ketika ada isu di tingkat nasional, bagaimana caranya mahasiswa ini menjadi inisiator gerakan atau pro pergerakan. Saya rasa bentuk gerakan itu banyak, ada gerakan di media sosial dengan menulis, ada gerakan demonstrasi itu cara yang paling terakhir bagaimana caranya kita menekan pemerintah bahwa rakyat sudah geram dan marah.
Bagaimana perkembangan demokrasi di Indonesia?