Komnas PA Minta Dilibatkan Pembahasan Raperda
HARUS TUNTAS. Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Cirebon Raya, Siti Nuryani meminta pembahasan revisi Perda tersebut jangan terburu-buru.--
RAKYATCIREBON.ID, CIREBON – DPRD Kabupaten Cirebon saat ini sedang merevisi Perda nomor 1 tahun 2018 tentang Perlindungan, Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Pembahasannya dikebut. Hal itu menimbulkan spekulasi dari publik.
Pasalnya, tidak melibatkan pihak luar yang konsen terhadap penanganan kasus kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak. Padahal, kasusnya di Kabupaten Cirebon sudah cukup mengkhawatirkan.
Komisi Nasional Perlindungan Anak Cirebon Raya pun mencatat angka kekerasan seksual sepanjang perjalanan tahun 2022, sudah ada 15 kasus di Kabupaten Cirebon. 75 persennya itu, kejahatan seksual. Paling tinggi, kasus tersebut ada di tahun 2020. Jumlahnya mencapai 35 kasus.
Perlidungannya pun harus tuntas. Jangan setengah-setengah. Baik korban maupun pelaku. Mentalitas keduanya harus dipulihkan.
Makanya, kata Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Cirebon Raya, Siti Nuryani SPd AUD meminta pembahasan revisi Perda tersebut jangan terburu-buru. Agar menghasilkan produk yang komprehensif. Pihaknya pun meminta agar bisa dilibatkan.
"Sepanjang pembahasan, kami dari Komnas perlindungan anak tidak dilibatkan. Kami hanya memantau perkembangan dari luar. Sebagai lembaga independen, kita yang tau persis dilapangan. Seperti apa kondisi korban," katanya, Selasa (17/5).
Meski demikian, lanjut Siti, Komnas PA sangat mengapresiasi langkah DPRD. Tapi, poinnya harus banyak ditekankan dan difokuskan pada anak-anak. Mengingat kekerasan terhadap anak ini luar biasa.
"Tapi, yang kami sayangkan, poin-poin yang ingin Komnas sampaikan belum tersampaikan. Setidaknya, ketika kita dilibatkan, kita bisa ikut menambahkan. Karena kita bagian dari masyarakat yang peduli," katanya.
Ia menjelaskan, perlindungan terhadap korban itu harus tuntas. Jangan sampai, kedepan korban menjadi pelaku. Fenomena ini banyak terjadi. Maka, ini penting untuk diingatkan dan ditekankan lagi. Tidak hanya itu, banyak juga anak berhadapan dengan hukum. Dan tidak pernah dapat keadilan. Padahal ada hak anak.
"Korban kejahatan seksual harus benar-benar dilindungi. Harus ada rumah aman. Sayangnya pemerintah tidak memiliki rumah aman. Maksudnya, rumah aman ini untuk mengamankan korban dari bully-an warga," ungkapnya.
Selama ini, rumah aman yang ditempati korban adalah rumah pribadi milik dirinya. Pemerintah harusnya memperhatikan itu. Selain rumah aman. Pemerintah juga mestinya menganggarkan dana visum untuk korban kejahatan seksual.
Tidak usah pemerintah daerah, pemerintah desa saja cukup. Dialokasikan per tahun Rp600 ribu sampai Rp1 juta saja cukup melalui ADD.
"Selama ini visum di rumah sakit kabupaten tidak ada yang gratis. Masih bayar. Beda dengan di kota Cirebon. Rumah sakit Gunung jati itu gratis ketika ada korban kejahatan seksual divisum. Poin ini juga bisa dimasukkan dalam pembahasan Raperda P3A," pungkasnya. (zen)
Sumber: