Salah Satu Hakim Konstitusi Ingin Sahkan Nikah Beda Agama, Tawarkan 4 Kebijakan Alternatif untuk Buku Nikah

Salah Satu Hakim Konstitusi Ingin Sahkan Nikah Beda Agama, Tawarkan 4 Kebijakan Alternatif untuk Buku Nikah

salah satu Hakim Konstitusi, Daniel Yusmic P Foekh --

RAKYATCIREBON.ID, JAKARTA - Isu pernikahan beda agama menyeruak kembali. Ditanbah, salah satu Hakim Konstitusi, Daniel Yusmic P Foekh menyatakan negara harus memperhatikan pernikahan beda agama.

Daniel mengatakan, seharusnya negara hadir dalam kasus pernikahan beda agama. Sebab dalam fakta di lapangan, banyak masyarakat yang melakukan pernikahan beda agama. Negara diminta tidak lepas tangan.

"Negara akan menjadi adil dan berlaku fair dengan memberikan tempat yang seharusnya terhadap berbagai keberagaman agama dan kepercayaan yang dianut oleh warga negara Indonesia," kata Daniel dalam concuring opinion putusan nikah beda agama yang dikutip detikcom, Rabu (1/2/2023).

Putusan itu diketok pada Selasa (31/1). Permohonan itu diajukan oleh Ramos Petege, ummat Katolik yang tidak menikahi pacarnya yang beragama Islam.

"Oleh karena itu, melalui kesempatan ini, saya ingin menegaskan bahwa negara harus hadir terhadap persoalan ini, terutama terkait dalam pencatatan perkawinan warga negara," ucap Daniel.

BACA JUGA: Ibu-ibu Sudah 3 Kali Edarkan Sabu dan Ekstasi, Baru Sekarang Bilang Kapok

Menurut Daniel, pencatatan atau ketertiban administrasi dalam pencatatan perkawinan adalah hal yang sangat penting dalam melindungi hak-hak warga negara sebagaimana yang dijamin dalam UUD 1945. Pencatatan perkawinan tersebut selain untuk melindungi pasangan perkawinan beda agama/penghayat kepercayaan.

"Juga melindungi anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut," ujar Daniel.

Daniel memberikan empat alternatif kebijakan. Pertama, jalur nikah agama sebagaimana lazimnya saat ini, yaitu untuk perkawinan yang dilakukan oleh sesama agama Islam melalui Kantor Urusan Agama (KUA), Kementerian Agama.

Sedangkan untuk yang beragama selain Islam, melakukan pencatatan perkawinan di kantor pencatatan sipil.

"Kedua, untuk mereka yang melakukan perkawinan beda agama. Terhadap hal ini, maka mereka diberikan dua pilihan, apakah mau mencatatkan perkawinan mereka di KUA atau di kantor pencatatan sipil. Petugas KUA maupun petugas pencatatan sipil hanya perlu mencatat apa yang mereka sampaikan bahwa mereka telah melakukan perkawinan, dan petugas memberikan mereka Buku Nikah Beda Agama (untuk yang dicatat di KUA) atau Akta Nikah Beda Agama (untuk yang dicatat oleh kantor pencatatan sipil)," urai Daniel.

Ketiga, untuk warga negara Indonesia sesama penganut kepercayaan. Terhadap hal ini, negara juga harus mencatat perkawinan mereka. Terlebih, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 7 November 2017, yang mengharuskan mencantumkan 'penghayat kepercayaan' dalam kartu tanda penduduk, maka sudah seharusnya dalam perkawinan, mereka juga mendapatkan Buku Nikah Penghayat Kepercayaan, atau Akta Nikah Penghayat Kepercayaan.

"Keempat, perkawinan warga negara Indonesia yang salah satunya menganut agama tertentu dengan pasangannya yang merupakan penghayat kepercayaan. Berkenaan dengan hal ini, mereka juga berhak memperoleh Buku Nikah Agama-Penghayat Kepercayaan atau Akta Nikah Agama-Penghayat Kepercayaan," ujar Deniel.

BACA JUGA: Yang Dapat Selalu Orang Luar, Ibu-Ibu Desa Cangkingan Tertipu Arisan Bodong

Namun Daniel menyadari, kebijakan tersebut adalah kewenangan DPR dan pemerintah. Sebagai hakim konstitusi, Daniel tidak berwenang merumuskan dan menetapkan kebijakan itu. Sehingga Daniel sepakat dengan 8 hakim MK lainnya untuk menolak permohonan Ramos Petege.

"Dari jumlah perkara dan masa berlaku UU Perkawinan menjelang setengah abad, perlu mendapat perhatian negara agar dilakukan perubahan, khususnya terkait dengan norma perkawinan beda agama, dengan mengikuti dinamika kehidupan masyarakat, ilmu pengetahuan, dan teknologi," pungkas hakim MK Daniel.(dtc/racir)

Sumber: