Roasting Penyedap Canda Tradisi di Lingkungan Nahdliyin
KH Imam Jazuli menyebut roasting atau gojlokan merupakan penyedap danda tradisi di lingkungan nahdliyin. FOTO : ZEZEN ZAENUDIN ALI/RAKYAT CIREBON--
RAKYATCIREBON.ID, CIREBON - Bangsa Indonesia ditakdirkan memiliki adat dan budaya yang beragam. Sudah selayaknya untuk saling mengenali dan belajar satu sama lain. Salah satunya roasting yang sudah mentradisi di lingkungan warga Nahdliyin, yang tidak semua orang memilikinya.
Itu alasan gojlokan Miftah Maulana Habiburrahman alias Gus Miftah menjadi viral, karena tidak setiap orang bisa menerima. Hal itu, disampaikan Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia (Bima) Cirebon, KH Imam Jazuli Lc MA, Sabtu (7/12).
Suatu hari kata Kiai Imam Jazuli, Ketua Umum NU pernah menyebut beberapa ulama sebagai sekumpulan pengangguran. Pernyataan semacam ini jika dipahami secara literlek maka akan berujung pada penistaan harga diri.
"Bagaimana mungkin para kiai dan alim ulama yang memiliki pondok pesantren dengan ribuan santri disebut orang-orang tak punya kerjaan. Tetapi pasti maksudnya tidak seperti yang tersurat," katanya.
Pun demikian dengan mantan Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siradj pernah mengatakan, semakin panjang jenggot seseorang semakin goblok. Jika lagi-lagi diartikan secara literlek maka pernyataan ini sudah lintas kelompok.
"Orang-orang non-Nahdliyyin pasti akan menilai tokoh-tokoh besar di lingkungan NU terbiasa dengan kata-kata sarkas, baik di internal mereka sendiri maupun terhadap kelompok lain," lanjutnya.
Kiai Kaos Oblong itu pun melanjutkan bahwa Ahmad Bahauddin Nursalim alias Gus Baha mencoba menjelaskan posisi pintar dan goblok dengan cara proporsional. Mengaku pintar dan goblok sama pentingnya, selama memiliki alasan yang dibenarkan.
Mengaku pintar berarti sedang ingin menghargai jasa-jasa guru yang telah mengajar. Mengaku bodoh berarti sedang ingin tawadhu’ dan tidak menyombongkan diri. Dalam kesempatan lain Gus Baha menjelaskan Allah tidak butuh orang-orang pintar, dan kepintaran manusia tidak menguntungkan Allah.
Sebaliknya Allah butuh mental ubudiah alias jiwa pengabdian manusia. Dengan kata lain, lanjut Alumni Pondok Pesantren Lirboyo ini, menjadi bodoh sekali atau goblok selama disertai hati yang tulus nan ikhlas adalah jauh lebih penting di hadapan Allah daripada orang pintar berwawasan luas namun pamrih.
Penjelasan Gus Baha tersebut bisa dipahami dalam konteks yang lebih luas. Bukan hanya Tuhan yang membutuhkan mental ubudiah hamba, bangsa dan negara juga demikian. Indonesia tidak kekurangan orang-orang pintar dan berwawasan luas, namun jiwa pengabdian mereka kepada negara sangat rapuh.
"Korupsi merajalela dari tingkat pusat hingga daerah, semuanya dilakukan oleh orang-orang berpendidikan tinggi," katanya.
Gus Miftah mengaku dirinya bukan termasuk orang yang berpendidikan tinggi. Ia lahir dari jalanan, bergaul dengan anak-anak jalanan, berteman dengan para preman, dan berdakwah pula di kalangan manusia-manusia yang termarjinalkan atau “dinajiskan” oleh sosial seperti klub malam.
Gus Miftah sudah terbiasa dengan lingkungan-lingkungan yang dinomorduakan oleh masyarakat itu, tetapi terbukti berhasil sedikit demi sedikit mengajar orang-orang terpinggirkan itu ke jalan Allah.
Karakter Gus Miftah yang bertahun-tahun tumbuh di lingkungan pergaulan yang gelap itu tiba-tiba diuji di lingkungan yang disebut “terang”. Ia dipercaya oleh Presiden Prabowo Subianto untuk mengabdi kepada bangsa, negara dan umat dengan cara yang lebih luas dan efektif.
"Presiden memberikannya kekuasaan dan kewenangan untuk bertugas dan bertanggung jawab sebagai Utusan Khusus Presiden (UKP)," tuturnya.
Dalam waktu yang sangat singkat kurang lebih dua bulan, Gus Miftah belum sepenuhnya beradaptasi dengan lingkungan para pejabat publik. Terjadilah peristiwa antara Gus Miftah dan Sonhaji, seorang pedagang es teh asongan itu. Publik tidak bisa sepenuhnya menerima karakter personal Gus Miftah.
Akhirnya, banyak bermunculan potongan-potongan ceramah Gus Miftah lainnya yang senada dengan peristiwa Sonhaji.
Sebuah pepatah mengatakan orang zalim adalah orang yang tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya. "Kita sebagai bangsa tidak ingin menjadi orang yang zalim, menempatkan suatu perkara pada bukan tempatnya," katanya.
"Gus Miftah harus ditempatkan pada tempatnya, sebagai pribadi yang terbiasa dengan gojlokan atau roasting, baik sebagai bagian dari warga NU maupun sebagai orang yang dilahirkan oleh jalanan dengan lingkungan masyarakat termarjinalkan," lanjutnya.
Sebaliknya, membayangkan Gus Miftah seperti pejabat publik lain yang pandai bersilat lidah di depan kamera tetapi berperilaku korup di balik meja adalah perbuatan yang tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya. Membayangkan Gus Miftah seperti penceramah agama lain yang pandai bertutur kata lembut juga bukan menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Mungkin satu-satunya kesalahan Gus Miftah adalah tidak bisa memanfaatkan waktu yang sangat singkat, sekitar dua bulan sejak pelantikannya sebagai UKP, untuk menyadari bahwa tugas dan tanggung jawabnya sudah berubah. Ia bukan lagi milik masyarakat yang termarjinalkan selama ini melainkan milik seluruh rakyat Indonesia dengan karakter dan kepentingan yang beragam.
Untuk itulah, ini menjadi pelajaran penting bagi Gus Miftah maupun seluruh warga Nahdliyyin yang diberi kesempatan untuk menjadi pemimpin bangsa Indonesia yang majemuk. Ruang publik sudah seharusnya betul-betul dibersihkan dari kata-kata sarkas dan diisi dengan kata-kata santun.
Itu harus dilakukan baik oleh tokoh agama, tokoh masyarakat, maupun pejabat publik. Tentu ada harga mahal yang harus dibayarkan, yaitu mengorbankan keragaman dan memilih penyeragaman.
Di masa-masa yang akan datang, mungkin publik hanya menerima panggung stand up comedy sebagai satu-satunya ruang untuk roasting. Mimbar-mimbar agama dan panggung-panggung politik harus dibersihkan dari roasting dan gojlokan.
"Kita telah memasuki suatu zaman yang tak sanggup mengolok-olok dirinya sendiri, apalagi orang lain. Kita telah kehilangan kekuatan dan keinginan untuk mengungkap sisi gelap kemanusiaan baik dilakukan oleh diri sendiri maupun orang lain. Inilah sebuah zaman yang rapuh," terangnya.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015 pun berharap Gus Miftah masih sanggup menjalani tugas dan tanggung jawabnya sebagai UKP, dan Presiden Prabowo Subianto masih mempertahankannya. Satu kesalahan masih bisa dimaafkan.
Namun, jika Gus Miftah betul-betul mengundurkan diri dan Presiden menggantinya dengan orang lain, maka semoga ini menjadi kekuatan baru bagi bangsa ini.
"Kelak jika ada satu pejabat publik dan tokoh agama yang melakukan satu kesalahan saja maka dia harus dihukum seberat-beratnya baik hukuman sosial, politik, maupun administratif," pungkasnya. (zen)
Sumber: