Pengamat: Politik Dinasti, Khalifah Umar Menolak Anaknya Diangkat Jadi Gubernur

RAKYATCIREBON.ID-Nicollo Machiavelli dalam salah satu magnum opus-nya Il Principe (Sang Pangeran) berujar, kekuasaan harus digapai dan dipertahankan, meski harus membuang bab etika ke tong sampah. Jika filsuf era Renaisans itu masih hidup kini, barangkali ia akan tertawa melihat cara pemimpin mempertahankan kekuasaannya.
Petuah Machiavelli rupanya masih abadi hingga sekarang. Ia dilanggengkan lewat dinasti politik, nepotisme jabatan, tukar guling, dan bagi-bagi kue kepada para rente.
Terkait dinasti politik, Esty Ekawati dalam tulisannya Dilema Politik Dinasti di Indonesia (2015) menjelaskan, praktik ini jadi kian masif lantaran ada kebijakan otonomi daerah yang melahirkan demokratisasi di tingkat lokal, di mana pemimpin daerah dipimpin langsung oleh warganya. Masalahnya, tingginya ongkos politik dan besarnya “keuntungan” yang diperoleh jika menjadi kepala daerah, akhirnya membuat angan-angan demokrasi daerah itu berbelok. Kini, mereka yang duduk sebagai kepala daerah tak bisa dilepaskan dari para pejabat petahana, atau dinasti politik yang sudah ada sebelumnya.
Praktik ini makin subur setelah Majelis Konstitusi (MK) pada 8 Juli 2015 secara tak langsung melegalkan dinasti politik. MK saat itu membatalkan Pasal 7 huruf (r) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, yang menerangkan, syarat calon Kepala Daerah (Gubernur, Bupati atau Walikota) tak mempunyai konflik kepentingan dengan petahana.
Mencermati perjalanan sosial politik Indramayu pasca reformasi amat menarik. Tidak berlebihan jika daerah ini merupakan “miniatur Orde Baru” pada era pasca-reformasi. Setidaknya tercermin dari preferensi masyarakat terhadap pilihan parpol tertentu serta sirkulasi elite kekuasaan yang berkutat pada satu poros saja. Indramayu merupakan salah satu lumbung terbesar suara Partai Golongan Karya (Golkar) di Jawa Barat. Selain itu elite kepemimpinan di Indramayu selalu dipegang oleh kader-kader Golkar.
Kepada Rakyat Cirebon, Dr. Ferry Muhammadsyah Siregar LC. MA, Postdoctoral Research Fellow di University of South Florida, Amerika Serikat ini berharap banyak muncul ide dan kebijakan yang memakmurkan rakyatnya dari siapa pun yang menjadi pimpinan daerah. Menyoal Politik Dinasti, Ferry Muhammadsyah mengatakan dalam sejarah Islam, khalifah Umar Ra pernah disarankan didorong agar anak beliau diangkat dan ditunjuk untuk menjadi gubernur, namun beliau menolak.
“Mungkin ini bisa dijadikan tauladan saat politik dinasti yang tidak menguntungkan rakyat,” ungkap Ferry yang menyelesaikan Doktoralnya di Universitas Gadjah Mada, tahun 2014.
Berikut petikan wawancaranya.
Pilkada 2020 diramaikan keluarga Joko Widodo di sejumlah daerah. Mulai dari Gibran Rakabuming Putra hingga menantu Jokowi Bobby Afif Nasution. Bagaimana pendapat Anda tentang Politik Dinasti?
Majunya anak presiden atau keluarganya dalam pemilu/pemilukada tidak melanggar hukum dan aturan yang ada. Jadi, semua rakyat bebas memilih dan dipilih. Halangan dan hambatannya berada dalam wilayah etis dan etika karena akan disorot dalam hal proses dan manajemen politik dinasti ini. Misalnya apakah fasilitas kepresidenan misalnya dipakai untuk menopang dan membantu sang calon keluarga tersebut dalam memenangkan pilkada atau pemilukada. Ini tentunya terkait dengan salah satu penggunaan kekuasaan. Dalam sejarah Islam, khalifah Umar Ra pernah disarankan didorong agar anak beliau diangkat dan ditunjuk untuk menjadi gubernur, namun beliau menolak. Mungkin ini bisa dijadikan tauladan saat politik dinasti yang tidak menguntungkan rakyat.
Ada sebagian pendapat, Dinasti Politik berbahaya bagi demokrasi?
Ada bahayanya dan ada manfaatnya juga. Tergantung infrastruktur politik dan modal sosial sang kandidat keluarga dinasti. Saya lebih cenderung melihat kompetensi sang kandidat Politik dinasti ini. Bila figurnya sangat layak, sangat mapan, sangat sholeh ke tingkat zuhud atas kehidupan dunia ini, saya fikir itu bagus sekali. Tapi kalau sebaliknya, masih muda, tidak punya pengalaman, emosi labil, justeru berbahaya bagi rakyat yang dipimpinnya nanti.
Masyarakat pada umumnya melihat Politik Dinasti sangat merugikan. Bagaimana amatan Anda?
Untung dan ruginya masyarakat akibat ulah kandidat politik dinasti itu ada ukuran, indikator dan ciri cirinya. Yang paling gampang bisa dilihat adalah seberapa banyak sumbangsih kandidat politik dinasti bagi naiknya tingkat kesejahteraan rakyat, pendidikan, wirausaha UMKM, serta kesehatan. Poin poin ini bila ditelusuri akan dapat dilacak dari tingkat index prestasi mereka saat menjabat. Kalau mau jujur, tentu ada diantara mereka yang bagus juga prestasi selama menjabat, tapi banyak juga yang masuk KPK dan minim prestasi menurunkan kemiskinan, kesehatan dan pendidikan serta lowongan kerja.
Sumber: