Istri Sedar, Pelopor Politik Perempuan Pertama di Indonesia

Istri Sedar, Pelopor Politik Perempuan Pertama di Indonesia

RAKYATCIREBON.ID-Dalam kehidupan publik, terutama politik, kesenjangan gender tidak hanya dirasakan di Indonesia, namun juga dunia. Hal tersebut sudah terjadi sejak abad ke-21.

Meskipun saat itu sudah banyak konvensi internasional, namun jumlah perempuan dalam parlemen di dunia masih sedikit (18,4 persen).

Dilansir dari situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, keterlibatan perempuan Indonesia, mengarah pada sosok pergerakan wanita dari RA Kartini, Dewi Sartika, Rohana dan lainnya. Sekaligus organisasi peregerakan perempuan seperti Perhimpunan Istri Sedar.

Isteri Sedar dianggap sebagai gerakan perempuan paling progresif sebelum Kemerdekaan.

“Mengapa orang berpikir bahwa seorang pria yang dikendalikan oleh nafsu akan dapat disembuhkan jika diberi kesempatan untuk berpoligami? Ia mungkin juga ingin mengambil istri dari orang lain atau berhubungan seks dengan seorang pelacur.”

Kecaman tersebut dikeluarkan oleh Suwarni Pringgodigdo dalam sebuah tulisan pada 1937 berjudul “Perlindoengan dalam Perkawinan”, sebagaimana dikutip oleh Susan Blackburn dalam Women and the State in Modern Indonesia (2004: 121).

Suwarni memang terkenal ketat soal poligami, terlebih soal kemerdekaan perempuan. Sejak tahun 1930-an, perhatiannya yang utama ialah membentuk gerakan nasionalis kaum perempuan. Menurut Suwarni, agar dapat memenangkan kemerdekaan nasional maka sepatutnya antara laki-laki dan perempuan diberikan persamaan dalam hal penghargaan.

Sikap keras Suwarni kemudian mengantarkannya menjadi ketua Isteri Sedar, sebuah organisasi perempuan sekuler yang berdiri di jalur radikal. Organisasi ini sebenarnya sudah berkegiatan sejak 1927 tetapi baru diresmikan pada 22 Maret 1930 di Bandung. Adapun misi utama Isteri Sedar ialah melekaskan dan menyempurnakan Indonesia merdeka.

Kongres Perempuan Indonesia pertama tahun 1928 memang sukses besar melahirkan lebih banyak gerakan perempuan progresif. Kendati demikian, perempuan pada masa itu agaknya masih enggan melepas adat dan tradisi yang menuntut kepatuhan kepada kaum lelaki. Lain halnya dengan Isteri Sedar yang punya keterikatan dengan pemikiran-pemikiran feminis Barat.

Berdasarkan tulisan Amelia Fauzia, dkk, dalam Tentang Perempuan Islam: Wacana dan Gerakan (2004: 43), diketahui bahwa berdirinya Isteri Sedar menandai babak baru pergerakan perempuan Indonesia yang diwarnai perdebatan dan pertentangan. Kaum perempuan, khususnya yang datang dari organisasi Isteri Sedar, menjadi lebih blak-blakan saat menentang isu poligami.

Pertentangan semacam ini nampak jelas dalam Kongres Perempuan Indonesia II yang diadakan pada 20-24 Juli 1935 di Jakarta. Pada kesempatan itu, Ratna Sari mewakili seksi wanita Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) dari Sumatera Barat menyampaikan pidato yang berapi-api tentang poligami sebagai kewajiban perempuan. Hal ini serta merta mematik perasaan tidak nyaman sebagian perempuan, namun sedikit yang berani mendebat.

“Perempuan Minangkabau ini penuh semangat, sangat nasionalis, dan Islam tegar. Ia mengenakan kerudung dan busana tradisional Islam. Kami semua menjadi khawatir. Bagaimana kira-kira reaksi Ibu Pringgodigdo,” tutur Maria Ulfah kepada Saskia Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI (2010: 138).

\"\"/

Kekhawatiran Maria menjadi kenyataan. Seperti yang dikisahkan Gadis Rasid dalam Maria Ulfah Subadio: Pembela Kaumnya (1982: 53), Suwarni Pringgodigdo tanpa ragu langsung menyerbu panggung. Dia sangat marah terhadap ucapan Ratna Sari.

Amarah Suwarni lantas berlanjut menyerang laki-laki yang disebutnya mirip seperti ayam jago yang suka mengumpulkan perempuan. Setiap kali sebutan “ayam jago” muncul, sejumlah laki-laki yang duduk di barisan belakang mulai gaduh dan menirukan suara kokoh ayam jantan. Akibatnya, peserta lain tak kuasa menahan tawa kecil.

Sumber: