Perajin Tempe-Tahu Keukeuh Pilih Kedelai Impor
Rabu 08-11-2017,11:21 WIB
KEJAKSAN – Tak kurang dari 83 persen kedelai nasional diserap oleh industri dan perajin tahu-tempe. Sementara 17 persen pasokan lainnya digunakan sektor usaha lain dan kebutuhan rumah tangga.
|
Ketua Gakoptindo Aip Syarifuddin. foto: Suwandi/Rakyat Cirebon |
Ketua Gabungan Koperasi Perodusen Tahu-Tempe Indonesia (Gakoptindo), Drs H Aip Syarifuddin menjelaskan, besarnya kebutuhan kedelai di tingkat perajin tahu-tempe menunjukan tingkat konsumsi masyarakat pada olahan kedelai juga tinggi.
Oleh itu, kata dia, stabilitas ketersediaan dan suplai kedelai menjadi hal yang penting. Saat ini, hal tersebut hanya bisa dilakukan dengan melakukan impor kedelai karena produksi kedelai lokal masih belum mencukupi.
“Tahun ini saja, impor 2,3 juta ton kedelai. Sementara, produksi nasional kata Kementan hanya 800 ribu ton. Berarti kebutuhan satu tahun itu kira – kira 3 juta ton,” ungkap dia.
Aip melanjutkan, besarnya ketergantungan impor kedelai masih menjadi kebutuhan. Mau tidak mau, guna penuhi kebutuhan maka dilakukan impor kedelai. Hal ini juga bertujuan menghidupi produsen tahu-tempe skala kecil.
“Kalau tidak ada kedelai, perajin tahu-tempe tidak bisa produksi. Kalau tidak produksi, tidak makan, ini kah kasihan. Masa pemerintah mau suruh rakyatnya jadi pengangguran,” tegas dia.
Saat ini, tutur dia, Jawa Barat masih menjadi penyumbang kedelai lokal terbesar. Beberapa daerah di antaranya adalah penyumbang kedelai penting nasional, seperti Majalengka, Bandung, dan Cianjur.
Sementara, konsumen produk olahan kedelai adalah kota – kota besar yang tersebar seluruh Indonesia. “Kalau untuk tahu-tempe itu di kota - kota besar itu serapannya juga besar,” jelasnya.
Sementara itu, hasil rapat kerja nasional (Rakernas) II Gabungan Koperasi Perodusen Tahu-Tempe Indonesia (Gakoptindo) di Ballroom Hotel Prima, Kota Cirebon, Senin – Selasa (6-7/11) menghasilkan tujuh putusan. Salah satunya menolak penghentian impor kedelai di 2018.
Sekretaris Gakoptindo, Drs Hugo Siswaya menjelaskan, rencana penghentian impor kedelai membuat ketar – ketir industri dan produsen tahu dan tempe.
“Kalau impor kedelai harus setop di 2018, harus ada kehati-hatian, jangan sampai mematikan produsen olahan kedelai lokal,” ujar dia.
Menurutnya, harga kedelai impor dipatok lebih murah yakni Rp6,2 ribu per kilogram sedangkan harga kedelai lokal mencapai Rp7 ribu per kilogram. Di samping harga yang lebih murah, kedelai impor juga dinilai punya standar kualitas yang jelas.
“Oleh karena itu, salah satu langkah yang bisa ditempuh dengan melakukan penghentian impor kedelai secara bertahap. Hal ini dilakukan seiring menunggu realisasi upaya pemerintah dalam meningkatkan produksi kedelai lokal, “ ujarnya.
Sementara itu, Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementrian Perdagangan, Oke Nurwan Dipl Ing meyakini upaya pemerintah dalam meningkatkan produksi kedelai lokal dengan memperluas lahan tanam dapat tercapai.
“Upaya pemenuhan di dalam negeri tengah digalakan Kementan. Yakni, dengan menyediakan lahan 500 ribu hektare di tahun ini, serta 1,5 juta hektare di tahun depan. Targetnya, produksi kedelai bisa 3,5 juta ton. Kalau kebutuhan nasional hanya 3 juta ton, maka bisa swasembada 500 ribu ton,” papar dia. (wan)
Sumber: