KPU Harus Berani Menguji Visi Misi Cabup
Kamis 28-09-2017,12:00 WIB
KUNINGAN - Pilkada serentak yang akan digelar Juni tahun depan, merupakan momentum yang tidak terpisahkan dari pembangunan infrastruktur demokrasi.
|
Misbah. Foto: Mumuh/Rakyat Cirebon |
Dengan pandangan jauh kedepan, semua unsur harus berani menafsirkan Pilkada lebih luas guna menjadi perbaikan dari semua proses, mulai dari penyelenggara dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU), Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), masyarakat pegiat demokrasi serta masyarakat umum sebagai penentu dari pesta politik ini.
Harapan tersebut disampaikan H Misbah SH selaku Pengamat Sosial sekaligus Presiden Komisaris PT PAN Jaya, Rabu (27/9). Ia melanjutkan, Pilkada harus dijadikan proses untuk menciptakan seorang kepala daerah yang siap memimpin, bukan yang siap berkuasa. Siap memimpin, artinya seorang yang akan menyatukan berbagai kepentingan dan aspirasi masyarakat secara umum sebagai dasar kebijakan-kebijakan yang berkeadilan.
Hal berbeda jika seorang kepala daerah berjiwa seorang penguasa, kebijakan-kebijakannya didominasi dengan kepentingan politik pribadi dan golongannya, yang pada akhirnya akan mengurangi nilai kemanfaatan dan bahkan selalu mengundang reaksi masyarakat.
“Seorang kepala daerah yang berjiwa pemimpin akan sangat memahami bahwa setiap rancangan peraturan daerah bukan didasari dengan kepentingan politik partainya atau golongannya. Maka dari itu kita harus mampu menerjemahkan bagaimana kriteria seorang kepala daerah yang cakap dalam memimpin daerahnya,” kata Misbah.
Ia mengaku khawatir jika calon kepala daerah hanya bermazhab kepada kebesaran keluarga dan popularitas semata tanpa mengindahkan kualitasnya, maka yang terjadi adalah lemahnya kepemimpinan yang mandiri, sehingga kebijakan-kebijakan kepala daerah dikuasai oleh sebagaian golongan saja.
Hal ini jelas akan berdampak serius bagi keberlangsungan pemerintahan, baik di eksekutif maupun dilegislatif. Namun yang paling fatal dari semua itu menurutnya adalah kebijakan-kebijakan daerah yang seharusnya menyerap dari segala aspek dan aspirasi masyarakat, akan hanya kebijakan-kebijakan yang justru didominasi oleh sebagaian kalangan yang pro dalam pemerintahannya saja.
“Memang siapapun berpeluang dan bisa mengikuti kontestasi pilkada, baik jalur partai maupun jalur perseorangan. Namun dengan kondisi demokrasi hari ini serta dengan berbagai syarat seperti popularitas dan ketokohan, hampir semua peserta bakal calon yang lulus menjadi calon kepala daerah terdiri dari pengusaha, pensiunan biraokrat, tokoh masyarakat dan keluarga dari incumbent,” ujarnya.
Menurut Misbah, memang menjadi sebuah dilemma tersendiri bagi para peserta kontestasi di pilkada, dimana mereka akan dihadapkan dengan kos politik yang tidak sedikit untuk mengambil hati dan simpati para pemilih dengan berbagai cara. Biaya politik belum selesai sampai disitu, mereka lagi dengan istilah mahar politik bagi elit-elit partai, ditambah dengan biaya saksi yang harus ditanggung oleh kandidat.
Fenomena terjadinya OTT (Operasi Tangkap Tangan) para oknum kepala daerah oleh KPK belakangan ini, menurutnya seolah menjawab akan wacana-wacana yang berkembang bahwa kos politik atau modal politik yang begitu besar diawal, pada akhirnya mereka akan berpikir bagaimana caranya untuk mengembaliakannya dengan memanfaatkan kekuasaan.
“Belum lagi berdampak kerugian negara dan menyengsarakan rakyat, namun patut kita hawatir, pola korupsi dan suap yang dilakukan oleh para kepala daerah akan ditiru oleh para kepala desa yang diberi kewenangan mengelola dana desa,” tutur Misbah.
Dikatakan Misbah, budaya korup dan pragmatisme masyarakat harus segera diakhiri. Jika tidak, maka Pemilukada yang menghabiskan anggaran negara yang begitu besar dari periode ke periode ini hanyalah sebuah program gugur kewajiban para penyelenggara Negara.
Sebelum telambat, penyelenggara pemilu mesti terus berkerja keras untuk memcahkan masalah tersebut. KPU bukan hanya mengawal dari sisi keamanan para calon kepala daerah saja, namun juga dari sisi lain seperti pendampingan pegiat sosial, pendampingan rohaniawan, pendampingan budaya lokal dan akademisi untuk mndampingi para calon kepala daerah.
“Hal ini sangat perlu karena jelang proses kampanye berlangsung, bukanlah hanya terjadi persaingan dan pertempuran suara, namun juga pertempuran mental, seperti black campaign dan lain sebagainya. Maka tidak sedikit para calon kepala daerah akhirnya terganggu dan ikut terprovokasi sehingga mengancam alur Pemilukada,” saran Misbah.
Tak hanya disitu, Misbah pun mendorong agar para calon kepala daerah di Kuningan bisa menciptakan daya saing Usaha Kecil Menengah (UKM) di tengah adanya Masyarakat Ekonomi Asean saat ini yang tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi semua elemen, khususnya para kepala daerah. Selain itu, menurutnya diperlukan juga kontrak politik dari para calon kepala daerah dengan rakyatnya, sehingga visi misinya yang disampaikan saat kampanye tidak sekedar jargon dan alat pencari simpati saja.
“KPU harus berani menguji visi misi yang diusung semua calon kepala daerah dengan melibatkan berbagai kalangan, seperti akademisi, budayawan, ekonom, TNI, Polri, tokoh masyarakat dan unsur lainnya untuk menguji visi misi agar bisa dipertanggungjawabkan. Miris rasanya, jika kita memiliki kepala daerah yang dirinya sendiri tidak mampu menerjemaahkan visi misinya dan akhirnya terjadi kerancuan dari program-program pemerintah daerah di setiap SKPD dengan visi misi yang diembannya dulu,” kata Misbah panjang lebar. (muh)
Sumber: