FSPMI Desak Kenaikan Upah Minimum Kabupaten 2026 Sebesar 8,5–10,5 Persen, Sesuai Amanat Putusan MK
JELASKAN. Ketua FSPMI Kabupaten Cirebon, Moch Mahbub mendesak kenaikan Upah Minimum Kabupaten 2026 sebesar 8,5–10,5 Persen, sesuai amanat Putusan MK. FOTO : IST/RAKYAT CIREBON--
CIREBON, RAKYATCIREBON.DISWAY.ID – Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Kabupaten Cirebon mendesak pemerintah untuk menaikkan Upah Minimum Kabupaten (UMK) tahun 2026 di kisaran 8,5 hingga 10,5 persen.
Desakan ini mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168/PUU-XXI/2024, yang menegaskan bahwa penetapan upah minimum tidak lagi menggunakan ketentuan dalam Undang-Undang Cipta Kerja.
Melainkan harus mengacu pada formula yang mempertimbangkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu dengan memperhatikan kebutuhan hidup layak (KHL).
Ketua FSPMI Kabupaten Cirebon, Moh Machbub, menjelaskan bahwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi dari Oktober 2024 hingga September 2025 tercatat sebesar 2,65 persen, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,12 persen, dan indeks tertentu berada di kisaran 1,0 hingga 1,4.
Dari hasil perhitungan itu, kenaikan upah layak berada pada angka sekitar 8 persen, sementara FSPMI dan KSPI-Partai Buruh mengusulkan kenaikan di rentang 8,5–10,5 persen sebagai ruang negosiasi yang wajar.
“Formula penetapan upah sudah jelas, berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu. Tidak ada formula lain. Karena itu kami meminta pemerintah menetapkan kenaikan upah 2026 di kisaran 8,5 sampai 10,5 persen,” ujar Machbub.
Machbub menegaskan, dengan dicabutnya Undang-Undang Cipta Kerja, maka peraturan turunannya seperti PP 34, 35, dan 367 juga tidak lagi berlaku. Pemerintah saat ini disebut tengah mempersiapkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) baru terkait kenaikan upah tahun 2026.
Selain soal UMK, FSPMI juga menyoroti persoalan Upah Minimum Sektoral Kabupaten (UMSK) di Cirebon yang dinilai belum menyentuh sektor-sektor riil di daerah tersebut. Menurut Machbub, sektor-sektor seperti komponen elektronik dan otomotif yang tercantum dalam UMSK belum memiliki industri yang nyata di Kabupaten Cirebon.
“UMSK kita sudah disahkan, tapi faktanya sektor-sektor yang ditetapkan seperti komponen elektronik dan otomotif itu belum ada di Cirebon. Jadi manfaatnya belum dirasakan pekerja,” katanya.
Di sisi lain, Machbub juga menyoroti lemahnya perlindungan jaminan sosial bagi pekerja di Kabupaten Cirebon, khususnya jaminan kesehatan dan jaminan kecelakaan kerja.
Banyak buruh yang mengalami kesulitan setelah terkena PHK, karena tidak lagi tercover oleh BPJS Kesehatan maupun program Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari APBN maupun APBD.
“Buruh yang di-PHK kehilangan jaminan sosialnya. UHC di Kabupaten Cirebon pun belum sepenuhnya mencakup mereka. Akibatnya, ketika sakit atau butuh perawatan, mereka harus menanggung sendiri biayanya,” ujarnya.
FSPMI juga mencatat masih banyak perusahaan yang tidak mendaftarkan pekerjanya ke BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Salah satu kasus terbaru, kata Machbub, terjadi di sebuah pabrik di Kabupaten Cirebon.
Di mana seorang pekerja mengalami kecelakaan kerja hingga kehilangan empat jari, namun perusahaan tidak memberikan perlindungan sama sekali.
Machbub menilai kondisi ini menunjukkan masih lemahnya penegakan aturan jaminan sosial bagi buruh. Ia menegaskan, pemerintah harus lebih serius memastikan seluruh pekerja, termasuk yang terkena PHK, tetap mendapatkan perlindungan sosial.
“Buruh sudah kehilangan pekerjaan, tapi jaminan kesehatannya juga hilang. Ini seperti tertimpa dua kali. Harus ada jaminan bahwa buruh yang di-PHK tetap tercover minimal enam bulan seperti yang pernah diusulkan dulu,” tegasnya.
Machbub berharap, pemerintah daerah maupun pusat dapat segera memperbaiki kebijakan upah dan jaminan sosial agar lebih berpihak kepada buruh.
“Harapan kami, kebijakan ke depan lebih realistis dan sesuai kondisi riil sektor industri di Cirebon, serta menjamin perlindungan penuh bagi pekerja,” pungkasnya. (zen)
Sumber: