Dinsos Klarifikasi Angka Warga Miskin di Kota Cirebon, Salah Paham

Dinsos Klarifikasi Angka Warga Miskin di Kota Cirebon, Salah Paham

KLARIFIKASI. Kepala Dinas Sosial Kota Cirebon, Santi Rahayu memberikan klarifikasi terhadap data yang disampaikan Ketua Fraksi Gerindra kepada Walikota di forum paripurna beberapa waktu lalu. FOTO: ASEP SAEPUL MIELAH/RAKYAT CIREBON--

RAKYATCIREBON.ID, CIREBON - Dinas Sosial Kota Cirebon langsung bereaksi terkait munculnya angka 70 persen kemiskinan di Kota Cirebon yang disampaikan Ketua Fraksi Gerindra DPRD Kota Cirebon, Fitrah Malik kepada walikota di forum rapat paripurna beberapa waktu lalu.

Sebagaimana diketahui, laporan dari Ketua Fraksi Gerindra, yang notabene juga merupakan anggota Komisi III yang bermitra dengan Dinas Sosial, membuat kaget semua pihak. Terlebih walikota saat itu.

Bahkan, walikota langsung menginstruksikan kepada SKPD terkait untuk melakukan verifikasi dan validasi (verval) terhadap data yang dilaporkan tersebut.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Dinas Sosial Kota Cirebon, Santi Rahayu menyampaikan, ada kesalahan pemahaman antara pihaknya dengan Komisi III saat rapat beberapa waktu lalu.

Dijelaskan Santi, yang disampaikan 70 persen dari jumlah penduduk di Kota Cirebon, adalah jumlah penduduk yang masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) , dan itu tidak spesifik menunjukkan warga miskin.

“Jadi yang 70 persen itu DTKS, ada kesalahan menafsirkan,” ungkap Santi.

DTKS tersebut, lanjutnya, merupakan sumber data untuk penerima semua bantuan sosial, baik itu dari APBD, APBD Provinsi maupun APBN. Diakui Santi, angka DTKS memang tinggi, sampai mencapai 70 persen dari jumlah penduduk secara keseluruhan.

Kemensos, kata Santi, memiliki tiga program bantuan reguler, di luar bantuan insidental semisal BLT BBM, yakni Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) serta Penerima Bantuan Iuran (PBI) untuk program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indomesia Sehat (JKN-KIS).

Kemudian, dari ketiga program tersebut, ada yang beririsan. Satu jiwa, secara beririsan menerima ketiga bantuan tersebut. Dan itu jumlahnya sekitar 23 ribu jiwa, atau kurang lebih 10 persen dari jumlah penduduk. Jumlah itulah yang menurut versi Kementerian Sosial masuk dalam kategori warga miskin.

“Ada irisan penerima tiga bantuan itu, yang menerima ketiganya hanya sekitar 23 ribu jiwa, dari jumlah jiwa 340 ribu sekian. Itu yang dimaksud miskin,” jelas Santi.

Mengenai DTKS yang tinggi, masih dijelaskan Santi, ada beberapa faktor yang menyebabkannya. Yakni, karena data awal DTKS merupakan hasil sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2015 lalu, dan belum semua dilakukan verval.

Sehingga sangat dimungkinkan, warga yang sudah meninggal atau pindah pun masih termasuk di dalamnya. Verifikasi sulit dan harus melalui proses panjang, karena DTKS ditetapkan oleh Kementerian Sosial.

Kemudian, tingginya DTKS juga dikarenakan penambahan yang terus dilakukan, tanpa ada verifikasi terhadap data yang sudah ada. Terlebih saat pandemi lalu, banyak warga yang masuk kategori miskin baru (Misbar) yang menyusul masuk DTKS. Karena saat itu, ketentuan yang digunakan adalah warga terdampak pandemi secara umum.

“DTKS itu semua data penerima, dan DTKS tinggi karena covid. Saat itu, yang dapat bantuan bukan hanya miskin, tapi yang terdampak pandemi. Terkait ini, kita sudah lapor ke sekda. Dan pesan beliau harus duduk bersama antara semua pengguna data kemiskinan. Menyamakan persepsi untuk kategori kemiskinan. Untuk menindaklanjuti instruksi verval dari walikota, ke depan untuk updating data, kita ingin ada puskesos di setiap kelurahan,” kata Santi. (sep)

Sumber: