Harga Garam Dikendalikan Tengkulak

Harga Garam Dikendalikan Tengkulak

Harga garam terus anjlok dimasa panen raya dibandrol Rp400 per kilogramnya. FOTO : ZEZEN ZAENUDIN ALI/RAKYAT CIREBON--

RAKYATCIREBON.ID, CIREBON – Harga garam sepenuhnya dikendalikan oleh tengkulak. Pemerintah belum sepenuhnya hadir menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk komoditas garam.

Akibatnya, petambak garam sering kali dipaksa menjual garam dengan harga yang jauh dari harapan. Ya, seperti sekarang ini. Harga garam cuma dibanderol Rp 400 perak per kilogramnya.

Kondisi ini terjadi di tengah panen raya yang seharusnya menjadi masa paling produktif bagi para petambak. Salah seorang petambak garam di Desa Rawaurip, Kecamatan Pangenan, Wawan mengeluhkan penurunan harga tersebut. Kata dia, kemungkinan harga garam akan terus merosot.

“Harganya terus-terusan anjlok, sekarang hanya Rp 400 per kilogram, dan kabarnya bakal turun lagi,” katanya Selasa 3 September 2024.

Harga segitu kata dia masih kotor. Harus dipotong biaya operasional. Para petambak sepertinya, wajib membayar upah buruh angkut, atau yang akrab disebut "pocok," untuk mengangkut garam dari tambak ke tempat penimbangan. Biaya pocok ini berkisar antara Rp 6.000 hingga Rp 7.000 per karung, tergantung jarak lahan dengan tempat penimbangan.

"Di blok sini, upah pocok per karung Rp 6.000, tapi di blok yang lebih jauh bisa mencapai Rp 7.000 per karung," jelas Wawan.

Hal serupa diakui petambak lainnya, Sulaeman. Ia pun mengeluhkan bahwa harga garam selama ini ditentukan sepenuhnya oleh tengkulak. Sejumlah petambak bahkan terikat perjanjian dengan tengkulak. Membuat mereka tidak memiliki alternatif lain selain menjual hasil panennya kepada tengkulak tersebut.

"Kami tidak bisa berbuat apa-apa, karena yang menentukan harga adalah penimbang (tengkulak, red). Setiap kali panen raya, harga pasti langsung turun," keluh Sulaeman.

Dia juga menyatakan bahwa petambak garam di daerahnya belum pernah menikmati harga tinggi saat panen raya. Beberapa tahun lalu, harga garam sempat mencapai Rp 4.000 per kilogram. Itu terjadi saat musim penghujan ketika stok garam di gudang menipis. Begitu produksi garam kembali normal pada musim kemarau, harga garam anjlok lagi.

"Bahkan pernah saat musim hujan harga garam mencapai Rp 6.000 per kilogram karena stoknya sangat sedikit. Tapi begitu musim kemarau tiba dan produksi garam meningkat, harganya langsung turun lagi," ungkapnya.

Meskipun Kabupaten Cirebon dikenal sebagai salah satu sentra produksi garam terbesar di Indonesia, kesejahteraan petambaknya tetap memprihatinkan. Hingga kini, pemerintah belum menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk komoditas garam, sehingga harga di pasar sepenuhnya dikendalikan oleh tengkulak.

Akibatnya, petambak garam sering kali dipaksa menjual garam dengan harga yang jauh di bawah harapan. Menurut data dari Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan (DKPP) Kabupaten Cirebon, luas lahan garam yang diolah di kabupaten ini mencapai 1.557,75 hektare dari total potensi lahan seluas 3.140,00 hektare.

Lahan-lahan tersebut tersebar di berbagai kecamatan. Sebut saja seperti Pangenan, Kapetakan, Gebang, Suranenggala, Losari, Astanajapura, Mundu, dan Gunung Jati.

Dengan luas lahan tersebut, Kabupaten Cirebon mampu menghasilkan ratusan ribu ton garam dalam satu musim. Asalkan cuaca kemarau tetap stabil. Namun, meskipun produksi melimpah, kesejahteraan petambak masih jauh dari harapan akibat rendahnya harga garam di pasaran. (zen)

Sumber: