Petualangan Cinta Putra Mahkota Mataram

Petualangan Cinta Putra Mahkota Mataram

RAKYATCIREBON.ID- Pada usia tertentu seorang putra mahkota, sudah harus memilih siapa pasangan yang nanti akan mendampinginya di istana. Umumnya keluarga kerajaan telah mempersiapkan beberapa calon, terutama dari kerajaan lain yang dinilai akan memperkuat posisi sang calon raja di dalam pemerintahan.

Proses memilih dan menentukan itu dihadapi oleh putra Amangkurat I, Raden Mas Rahmat alias Pangeran Anom (kelak Amangkurat II) dalam persiapannya mengambil alih kekuasaan Mataram. Pada 1652, ketika putra mahkota dianggap telah menginjak usia siap menikah, keluarga mencalonkan putri Sultan Banten sebagai pasangannya.

H.J. De Graaf dalam Runtuhnya Istana Mataram menyebut rencana pernikahan itu merupakan pengesahan atas kerja sama yang sedang diusahakan kedua kerajaan Islam tersebut. Namun syarat yang diajukan keluarga Mataram, yakni mengirim salah seorang anggota keluarga Kesultanan Banten untuk tinggal di istana Mataram, dianggap terlalu berat.

Syarat itu merupakan bagian dari upaya Mataram mengikat kerajaan lain agar benar-benar tunduk di bawah kuasa mereka. Atau yang oleh peneliti Belanda R.M. Van Goens disebut sebagai “hamba kerajaan” Mataram. Hal itu pernah menimpa pemerintahan Kesultanan Cirebon. Akibatnya banyak keluarga kesultanan itu terpaksa harus tinggal di istana Mataram.

“Tetapi tidak pernah seorang keluarga Kerajaan Banten bersedia tinggal di Mataram, sehingga perkawinan yang direncanakan itu batal,” terang De Graaf.

Dalam banyak catatan harian pemerintahan Belanda (Daghregister,) disebutkan bahwa di Mataram pada1653 --selama berbulan-bulan setelah pembatalan pernikahan dengan putri Banten--terjadi kesibukan untuk meminang putri Cirebon.

Sejak April 1653, pihak Mataram telah bersiap menemui keluarga Sultan Cirebon, termasuk mengundang Residen Barent Volsch sebagai perwakilan Belanda di tanah Mataram. Namun hingga berganti bulan, rencana pinangan itu tidak kunjung direalisasikan. Akhirnya pada Oktober 1653 pemerintah Belanda mendengar bahwa Mataram membatalkan agenda meminang putri Cirebon.

Alasannya, putri Cirebon secara keturunan terlalu rendah dibandingkan sang pangeran. Tidak sebanding dengan Mataram yang sejak lama telah dianugerahi garis keturunan penguasa Jawa. Dalam tulisannya De Graff menilai alasan itu sebagai sebuah kekeliruan. Mengingat keluarga Sultan Cirebon berasal dari keturunan wali termasyhur yang menyebarkan ajaran Islam di Jawa Barat (Sunan Gunung Jati).

Setelah rencana pernikahannya kembali gagal, Amangkurat I mengirim putranya ke salah satu dalem adipati Cirebon. Dikisahkan J.J. Meinsma dalam Babad Tanah Djawi: Javaanse Rijkskroniek saat itu keluarga Sultan Cirebon memiliki putri yang cerdas. Amangkurat I menilai putranya akan cocok dengan gadis Cirebon tersebut, tetapi ia ingin Pangeran Anom menilai sendiri. Jika menurutnya layak, maka raja akan segera melakukan persiapan memboyong gadis itu.

Setiba di Cirebon, Pangeran Anom segera pergi ke kediaman dalem Adipati Cirebon. Maksud kedatangan sang pangeran itupun segera disadari. Dalem Adipati Cirebon lalu memerintahkan putrinya untuk menyajikan sirih kepada putra Mahkota Mataram itu.

“Ketika pangeran melihat gadis itu, ia memuji penampilannya yang cantik, tetapi agak sedikit pemarah. Pangeran mulai khawatir gadis itu akan bersikap kasar kepada suaminya. Semakin lama ia diam di sana, semakin berkurang perasaannya terhadap gadis itu. Karena itu sekembalinya ke Mataram ia memberi tahu ayahnya bahwa ia tidak menginginkannya,” tulis Meinsma.

Pihak keluarga kerajaan Mataram kembali mengusulkan pertalian dengan Banten. Kali ini seorang gadis kemenakan sultan yang ditawarkan. Karena pada waktu itu putri sultan telah menikah. Namun tahun 1656 pemerintah Belanda kembali mendengar kabar bahwa usaha kedua mengikat Banten itu gagal.

Usaha terakhir yang dilakukan oleh raja untuk segera mencari pasangan bagi putranya adalah dengan mengadakan sayembara. Sunan menginginkan menantu dari bahwannya sendiri. Oleh karenanya disiapkan ratusan orang wanita. Siapa yang akhirnya dipilih, tidak pernah diketahui.

Menurut De Graaf, berdasarkan laporan pejabat Belanda, pernikahan Pangeran Anom berlangsung awal tahun 1657. Tetapi bukan dengan Rara Oyi seperti yang ditulis banyak narasi sejarah. Melainkan dengan seorang gadis cantik yang identitasnya tidak disebutkan, sekalipun oleh sumber-sumber lokal. Rara Oyi, putri Mangunjaya, sendiri baru menjalin asmara dengan pangeran setelahnya.

Sumber: