Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/66 (YPKP 65): Kuburan Massal Korban Tragedi 1965 Ditemukan di
SUATU hari Perdana Menteri Justin Trudeau menangis setelah menyampaikan permintaan maafnya pada suku-suku asli Kanada. “Saya berjanji kita akan memperbarui dan menghormati hubungan itu,” kata Trudeau, dalam pidatonya, menanggapi laporan akhir Truth and Reconciliation Commission (TRC) Kanada pada 15 Desember 2015 lalu.
Trudeau merujuk hubungan pemerintah dengan suku-suku minoritas dari First Nations (“Indian”), Metis, dan Inuit. Sebanyak 150 ribu anak dari tiga suku bangsa asli Kanada itu direnggut dari keluarga dan lingkungannya dan dimasukkan ke sekolah asrama (Indian Residential School) pada kurun 1840an-1900an. Sebagian mengalami kekerasan fisik dan seksual, juga banyak yang meninggal dunia karena perlakuan dan lingkungan buruk.
Truth and Reconciliation Commission (TRC) atau Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), lembaga yang menyelidiki pelanggaran-pelanggaran ini di Kanada, membutuhkan waktu selama 6 tahun untuk menyelidik. Hasil kerja para komisioner yang mengungkap 6.750 kisah pelanggaran serta 94 seruan untuk ditindaklanjuti oleh pemerintah.
Tak hanya di Kanada, kejahatan serius juga terjadi pada warga sipil di pelbagai negara lain. Sebutlah Afrika Selatan, Rwanda, Yugoslavia, Chili, juga Timor Leste. Setelah berhasil melewati masa penuh pelanggaran hak-hak dasar, negara-negara ini menggelar mekanisme pencarian kebenaran dan berujung pada rekonsiliasi.
Bagaimana dengan Indonesia?
Tak semua bagian masyarakat senang dengan langkah awal yang dilakukan pemerintah menuju rekonsiliasi. Pembahasan Tragedi 1965 dari sisi sejarah di Simposium Aryaduta mendapat banyak respons negatif. Tak sedikit yang menyalahpahaminya.
Dalam catatan Harian Rakyat Cirebon, akhir 2015, International People’s Tribunal (IPT65) diselenggarakan di Den Haag Belanda dan mendesak Pemerintah Indonesia agar meminta maaf kepada korban, melakukan penyidikan dan mengadili semua pelanggaran HAM. IPT, atau Pengadilan Rakyat Internasional, tidak memiliki kapasitas hukum untuk mengeksekusi keputusan tersebut.
April 2016, pemerintah menggelar “Simposium Nasional: Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan” di Hotel Aryaduta. Selain perwakilan pemerintah, simposium tersebut dihadiri perwakilan penyintas dan korban kekerasan, eks-tapol \'65, akademisi, serta para pegiat HAM. Usai simposium, pernyataan Presiden Jokowi memerintahkan penyelidikan atas dugaan keberadaan kuburan massal korban 1965, adapun Luhut Panjaitan yang menjabat Menkopolhukam saat itu meminta masyarakat menyerahkan bukti-bukti keberadaan kuburan massal.
Namun, salah satu korban Tragedi 1965, dan Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/66 (YPKP 65) Bedjo Untung mengungkapkan sejauh ini, telah melakukan penelitian karena dilatarbelakangi ada semacam tantangan dari Luhut Panjaitan. “Saat itu (Luhut Pandjaitan menjabat sebagai Menkopolhukam.red), beliau mengatakan begini,”Tunjukkan kalau memang ada kuburan massal saya akan minta maaf.”Setelah kami laporkan, saat itu jumlahnya baru 116, ternyata bertambah lagi, dan Menkopolhukam keburu diganti. Tetapi, beliau termasuk yang menyangkalnya,” ungkapnya kepada Harian Rakyat Cirebon, Selasa (4/8).
Bedjo Untung juga mengungkapkan pihaknya telah menemukan kuburan massal di wilayah Cirebon. “Tim Peneliti Kuburan Massal YPKP 65 yang meninjau ke lokasi terdiri dari Eddy Sugianto, Nurachman, Wahid, Bedjo dan Darsono. Menurut saksi mata yang bernama Misbach - seperti yang disampaikan kepada Pak Nurachman seorang Relawan/Korban 65 YPKP 65 Cirebon yang juga teman sekampungnya, di tempat tersebut dikuburkan 8 orang Tapol yang diduga sebagai anggota/simpatisan PKI,” ungkapnya.
Berikut ini petikan wawancaranya.
Sumber: