LY kerap mendapatkan nama panggilam mesra oleh sekelompok teman kerja pria di tempat kerjanya, namun hal itu masih dalam batas wajar.
“Kadang saya juga dapat say hello dari teman-teman kerja. Tapi itu masih dalam tahap wajar. Kalau keterlaluan, baru saya laporkan,” ungkapnya.
Ditanya tentang teman sesama pekerjanya yang mengajaknya kencan dan sempat diajak ke penginapan, apakah dilaporkan atau tidak? LY menjawab tidak berani melaporkannya, karena tidak ada bukti pendukung yang menyinkronkan situasinya.
“Bicara tentang melaporkan, menurut saya rumit. Pasti nanti saya akan ditanya, buktinya mana? Saksinya ada gak? Bingung saya. Toh dalam japrian WA, dia hanya mengajak makan dan main ke sebuah kafe,” ujarnya menjawab.
Kasus lain dialami oleh pekerja perempuan di bagian kebersihan. Dia bekerja di hotel wilayah Kabupaten Majalengka.
NN merupakan perempuan yang akan segera berkeluarga. Dia akan melangsungkan pernikahan, dan dia akan dinikahi seorang pria yang mencintainya.
NN menceritakan dulu dia selalu berpindah-pindah kerja, hal itu membuatnya memahami karakter manajer pria yang hidung belang.
Sebelum di hotel wilayah Majalengka, dia juga sempat bekerja di bagian yang sama hanya saja di kota yang lebih besar.
“Sekarang saya kerja di tempat kelahiran saya. Sudah hampir setahun. Tapi di sini manajer saya baik,” ungkapnya.
NN menceritakan, terkadang ada manajer yang mesum. Memanfaatkan situasi status pekerjaan, kemudian mendominasi dan menekan bawahan.
“Salah satunya harus mau menuruti keinginan atasan. Dulu saya sempat mau mengalami itu, untungnya tidak sampai kejadian,” ungkapnya tak mau menyebutkan lebih detail.
Menanggapi berbagai pengaduan kasus perempuan pekerja semacam itu, Ketua Rumah Perlindungan Perempuan, Mey Widyawati mengatakan pihaknya belum pernah menerima pengaduan kasus-kasus pegawai perempuan yang mengalami kekerasan seksual semacam itu.
“Kami mendorong, agar pekerja swasta maupun BUMN atau kantor-kantor, bilamana ada kejadian begitu, laporkanlah ke pihak kepolisian juga boleh,” ungkapnya, saat dihubungi.
Rumah Perlindungan Perempuan (RPP) memang punya program mengedukasi masyarakat, hanya saja, baru di tataran kaum ibu-ibu PKK di desa-desa. Sebagai gambaran, RPP belum punya sekretariat resmi, namun jaringannya cukup banyak di wilayah Kecamatan Palasah dan sekitarnya.
“Kalau ke perusahaan-perusahaan belum. Untuk hal itu, kita berkordinasi dengan LPAI Majalengka,” ucapnya.
Sebenarnya, ada beberapa alasan kenapa selama ini korban kekerasan seksual terutama buruh perempuan tidak berani melapor. Peneliti yang juga Aktivis dari Perempuan Mahardika, Vivi Widyawati menyebut, yang utama adalah tidak ada jaminan keamanan. Mengingat kekerasan yang terjadi di dunia kerja sangat erat dengan relasi kuasa.