Rainy MP Hutabarat: Kita Harus Dua Kali Lebih Dari Yang Lain
Menerima dirinya sebagai difabel, Rainy berkeras untuk mengatasi kekurangan dirinya dengan belajar. Dalam berkomunikasi, Rainy membaca gerak bibir orang yang berbicara kepadanya. Sewaktu SMA dan semasa kuliah, Rainy selalu memilih duduk di baris bangku terdepan. Dari pengalamannya belajar, ia menyimpulkan bahwa bila kita punya kekurangan, kita mesti meraih kelebihan yang lain.
Rainy tak pernah berterus-terang bahwa pendengarannya kurang. Orang baru tahu setelah bergaul dengannya. Dalam pergaulan, Rainy tak pernah “pasang tampang” bahwa ia difabel. Di lingkungan kampusnya dulu, ukurannya bukan difabel atau nondifabel, melainkan intelektualitas. “Kalau mampu, kita menjadi tempat orang untuk berkonsultasi atau bertanya,” jelas Rainy.
Memang, ada beberapa mahasiswa yang memandang sebelah mata, tetapi tak sampai mengusik keasyikan kuliahnya di kampus. Rainy belia juga jadi pengurus senat dan ikut mengelola majalah dinding kampus sehingga ia tak lagi memikirkan kekurangan yang ada dalam dirinya.
Baginya, seorang difabel harus mengenali keterbatasan dirinya dan memilih bidang yang cocok dengan minat dan kemampuannya. “Saya tak mungkin menduduki posisi public relation karena keterbatasan pendengaran, misalnya. Sebaliknya, saya cocok di bidang terkait publikasi dan riset serta pelatihan- pelatihan, khususnya pembuatan modul dan pengadaan materi. Pengalaman mengajarkan, jika kita difabel, maka kita harus ‘dua kali lebih’ dari yang lain agar diperlakukan setara dan dihargai,” katanya.
Bagaimana dengan perlakuan diskriminasi? Ia yakin, semua difabel pernah mengalami diskriminasi. Ia pernah mengatakan pada dirinya walau tak sampai menyurutkan semangat hidup bahwa saya difabel dan seorang perempuan! Ini untuk mengingatkan kerentanan dua hal akan diskriminasi dan eksploitasi. Rainy yakin, semua difabel pernah mengalami diskriminasi, juga eksploitasi. Disuruh mengerjakan macam-macam pekerjaan di luar pekerjaan kantor, urusan pribadi, dan kalau menolak diancam akan di-PHK. Dulu Rainy menulis makalah untuk atasan dan memakai nama atasan, juga penelitian dengan memakai nama atasan. Periode lampau ia cukup sering menulis makalah, tetapi bukan atas nama dirinya. Seorang penulis terkenal pernah mengiriminya SMS bahwa ia adalah benchmark yang dipasang di tempat kerjanya.
Dalam batas tertentu, ia bisa menerima bahwa perlakuan diskriminasi itu sifatnya manusiawi. Misalnya, orang-orang berbincang dengan suara perlahan, tidak memperhitungkan kehadirannya yang berpendengaran kurang. Dalam situasi seperti ini, kita harus bersabar. Sebagai informasi, indra telinga berkaitan dengan keselarasan emosi. Mereka yang pendengarannya kurang, harus mampu mengolah emosi sedemikian rupa agar stabil. Banyak membaca akan menolong mengenali diri dan mengatasi persoalan psikis maupun kehidupan sehari-hari di lingkungan kerja.
Sulit Berharap pada Pemerintah
Rainy merasa sulit berharap banyak kepada pemerintah untuk lebih memperhatikan difabel dalam pembangunan infrastuktur, misalnya trotoar jalan, jembatan penyeberangan, dan zebra cross. Dengan kondisi infrastruktur jalan seperti ini, orang buta sulit berjalan sendirian, apalagi para pengguna kursi roda. Para pengendara sepeda saja tak punya tempat di jalan raya, apalagi difabel. Harapan terpaksa dibatasi sebatas membuka peluang kerja bagi para difabel.
Di era globalisasi dan pasar bebas, menurutnya, persaingan yang dihadapi para difabel akan semakin hebat. Angka pengangguran di Indonesia tinggi, membuat peluang difabel untuk memenangkan persaingan di dunia kerja semakin sulit. Di sinilah intervensi pemerintah diperlukan, misalnya, dengan memberi keringanan tertentu bagi pihak swasta yang mempekerjakan difabel. Rainy melihat, ke depan isu difabel akan dilihat sama penting dengan isu pemanasan global dan perubahan iklim yang mengancam kehidupan di planet bumi.
Tulisan ini dibuat pada tahun 2011
Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 69, 2011 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Sumber: