Pabrik di Majalengka Merespon Isu Kekerasan Seksual Pada Buruh Perempuan

Pabrik di Majalengka Merespon Isu Kekerasan Seksual Pada Buruh Perempuan

SOP. PT SLI melakukan vaksinasi secara gotong royong, yang merupakan upaya perusahaan menciptakan lingkungan kerja yang aman dan kondusif bagi pekerja khususnya buruh perempuan.--

“Kalau ke perusahaan-perusahaan belum. Untuk hal itu, kita berkordinasi dengan LPAI Majalengka,” ucapnya. 

Sebenarnya, ada beberapa alasan kenapa selama ini korban kekerasan seksual terutama buruh perempuan tidak berani melapor. Peneliti yang juga Aktivis dari Perempuan Mahardika, Vivi Widyawati menyebut, yang utama adalah tidak ada jaminan keamanan. Mengingat kekerasan yang terjadi di dunia kerja sangat erat dengan relasi kuasa.

Pelaku biasanya orang-orang yang punya kuasa di tempat kerja, sehingga ketika korban ingin melaporkan, namun tidak ada jaminan rasa aman maka memilih untuk tidak melaporkan. “Karena itu tadi, takut kehilangan pekerjaan. Itu yang membuat banyak buruh perempuan tidak mau melapor,” ujarnya, Minggu 29 Mei 2022.

Sejauh ini, kata Vivi, belum banyak perusahaan atau tempat kerja yang memiliki mekanisme pencegahan, penanganan hingga pemulihan jika di perusahaan tersebut terjadi kasus-kasus kekerasan seksual.

Alasan lain enggan melapor adalah, buruh perempuan belum banyak mengetahui apa saja ruang lingkup kekerasan atau pelecehan seksual itu karena masih terbatasnya informasi yang mereka terima.

“Kadang mereka itu menganggap dan merasa tidak mendapatkan pelecehan ketika dicolek, digoda atau diperlakukan secara verbal. Anggapan mereka itu hanya bercanda. Bukan berarti mereka menerima ya, tetapi karena pengetahuan yang masih minim. Di masyarakat, masih menempel stigma bahwa perempuan adalah objek seksual,” ujarnya.

Menurut Vivi, seharusnya lembaga-lembaga yang bergerak di bidang perempuan atau serikat buruh harus memastikan bahwa perusahaan harus memiliki mekanisme pengaduan yang komprehensif.

Artinya, korban yang melapor bisa merasa aman, terlindungi, dan tidak kehilangan pekerjaan serta hak-haknya sebagai korban harus dipenuhi bahkan hingga mendapatkan pendampingan serta pemulihan.

“Apalagi kita sekarang sudah punya UU TPKS yang berperspektif korban. Sehingga bagaimana UU ini bisa berjalan maksimal, itu salah satunya adalah mendorong perusahaan untuk memiliki aturan,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Majalengka, Aris Prayuda mengatakan, pihaknya juga belum pernah menerima pengaduan kasus kekerasan seksual di tataran karyawan swasta maupun pemerintahan. 

“Saat ini kami lebih banyak menangani kasus-kasus kekerasan seksual anak,” ujarnya. 

Namun soal kekerasan seksual terhadap kaum perempuan di tempat kerja, pihaknya akan segera berkoordinasi dengan dinas tenaga kerja. 

“Kalau perlu, kita kordinasikan dengan anggota DPR RI yang membidanginya,” ungkapnya. 

Aris menambahkan, di LPAI Majalengka sendiri ada bagian yang khusus menangani kekerasan terhadap perempuan, di luar kekerasan terhadap anak. Mereka juga menyediakan psikiater untuk pemulihan atau trauma healing kepada korban.

“Kita akan lakukan pendampingan jika ada korban. Kita juga punya tenaga ahli, tenaga kesehatan. Tugas kami sekarang adalah terus memberikan sosialisasi dan mendorong jika ada korban untuk melapor,” ujarnya.

Sumber: