Nasib Pilu Warga Sekitar PLTU Cirebon
EFEK. Nelayan di wilayah perairan Cirebon terkena imbas dari operasional PLTU Cirebon.--
“Yang bilang setuju pada saat itu adalah para calo. Sedangkan warga pada kebingungan PLTU itu apa, nanti seperti apa,” cerita Aan.
Setelah pertemuan itu, kata Aan, masyarakat mulai menadapatkan intimidasi agar melepaskan tanah-tanah mereka untuk pembangunan PLTU Cirebon 1 yang jadi program pemerintah. Aan merupakan salah seorang yang vokal menolak PLTU hingga hari ini.
BACA JUGA:CCTV Gedung DPRD Kabupaten Cirebon Aktif, Kasus Mahmud Jawa Masih Diselidiki Kepolisian
Sekitar Juli 2007, proses pembangunan PLTU Cirebon 1 dimulai. Beberapa lahan warga dibeli seharga Rp14.000 per meter. Aan dan kawan-kawan nelayan yang tergabung dalam Rapel mempertanyakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan sosialisasi kepada masyarakat.
“Ketika ada kumpulan, selalu ada perkataan dari oknum aparat, nanti 'Aan saya tangkap', 'Aan nanti saya penjarakan'. Jadi warga ini ketakutan. Aan yang berani saja akan ditangkap, apalagi mereka. Dan kita tidak berhenti melakukan demo-demo,” ungkapnya penuh semangat.
Masyarakat menolak PLTU karena proses pembangunannya penuh intimidasi kepada emilik tanah, banyak manipulasi, serta tidak ada AMDAL. Aan menyebut, dampak dari PLTU mulai dirasakan masyarakat ketika proses pengurugan lahan dimulai pada 2008.
Sejak PLTU Cirebon unit 1 di Kanci Kulon yang berkapasitas 1 x 660 MW resmi beroperasi pada 2012. Pembangkit listrik ini pernah meraih penghargaan The Green Era Sustainibility Award 2019, ISO 9001, 14001, 45000, IBEA 2018 The Most Environmetnal Conserned Company, dan lainnya.
Sayangnya sejak beroperasi, para nelayan di wilayah pesisir Cirebon, seperti Waruduwur, Citemu, maupun Mundu mulai merasakan dampaknya. Aan mengatakan ada perubahan besar di Kanci Kulon, dulu masyarakat hanya menggunakan ban di pesisir-pesisir tanpa perlu kapal besar, bisa mendapat hasil tangkapan laut hingga Rp1 juta per hari.
Sumber: