Polemik Stasiun Cirebon: Antara Naming Rights dan Nilai Budaya

Polemik Stasiun Cirebon: Antara Naming Rights dan Nilai Budaya

Dr. Sitti Maesurah S.IKom M.IKom, Dosen dan Peneliti aktif bidang Komunikasi Bisnis Antar Budaya. FOTO: IST/ RAKYAT CIREBON--

Nama sebagai Identitas dan Jejak Budaya

Menurut Stuart Hall (1996), identitas budaya adalah konstruksi sosial yang dibentuk oleh sejarah dan pengalaman kolektif. 

Nama “Kejaksan” bukan hanya rujukan geografis, tetapi simbol yang menautkan masyarakat Cirebon dengan jejak kolonial, perjalanan urban, dan nilai-nilai religius pesisir.

Menghapus atau menggeser nama tersebut tanpa partisipasi masyarakat sama dengan mengganggu jalinan makna yang telah melekat dalam kesadaran kolektif. 

Dalam perspektif komunikasi antar budaya, tindakan semacam ini menimbulkan cultural dissonance — ketegangan akibat benturan antara nilai ekonomi korporat dan makna simbolik masyarakat.

Nama adalah bahasa simbolik identitas. Ketika nama diganti, makna pun bergeser, dan di situlah muncul perasaan “kehilangan makna” yang menjelma menjadi resistensi sosial.

Branding dan Komunikasi dalam Ruang Lintas Budaya

Dari sisi bisnis, praktik naming rights atau hak penamaan merupakan strategi pemasaran yang sah dan umum di banyak negara. 

Dalam dunia modern, banyak fasilitas publik yang disponsori perusahaan swasta untuk meningkatkan citra, misalnya Gelora Bung Karno by XYZ atau Terminal 3 Soekarno-Hatta Supported by BUMN.

Namun, branding lintas budaya menuntut lebih dari sekadar komitmen finansial. Ia memerlukan cultural due diligence, yaitu kepekaan terhadap nilai, simbol, dan persepsi masyarakat lokal.

Dalam teori komunikasi antar budaya, Gudykunst (1998) menjelaskan bahwa ketidakpastian (uncertainty) dan kecemasan (anxiety) sering muncul ketika simbol-simbol sosial (seperti nama tempat) berubah tanpa penjelasan yang memadai.

Dalam kasus Stasiun Cirebon, sebagian warga merasa kehilangan kontrol atas identitas lokal mereka. 

Di sisi lain, pihak Batik Trusmi memandang kolaborasi tersebut sebagai upaya memajukan ekonomi kreatif lokal. 

Ketidaksinkronan persepsi ini terjadi karena proses komunikasi yang belum sepenuhnya terbuka dan partisipatif, sebuah kesenjangan makna yang menjadi inti dari problem komunikasi antar budaya.

Dari sudut pandang bisnis, inisiatif Batik Trusmi untuk bekerja sama dengan PT KAI melalui naming rights mencerminkan semangat positif dari pelaku ekonomi kreatif lokal. 

Sumber: