Polemik Stasiun Cirebon: Antara Naming Rights dan Nilai Budaya

Polemik Stasiun Cirebon: Antara Naming Rights dan Nilai Budaya

Dr. Sitti Maesurah S.IKom M.IKom, Dosen dan Peneliti aktif bidang Komunikasi Bisnis Antar Budaya. FOTO: IST/ RAKYAT CIREBON--

Dalam konteks polemik Stasiun Cirebon, dominasi simbolik muncul saat kepentingan bisnis mencoba menafsirkan ulang ruang publik yang memiliki nilai sejarah komunal.

Bagi masyarakat Cirebon, harmoni (rukun) dan penghormatan terhadap warisan leluhur adalah nilai luhur. 

Maka, resistensi terhadap penghapusan nama “Kejaksan” merupakan reaksi budaya terhadap ketimpangan makna. Mereka bukan menolak kemajuan, tetapi menolak diabaikan.

Dengan kata lain, konflik ini bukanlah konflik ekonomi, melainkan konflik identitas — pertarungan atas siapa yang berhak mendefinisikan simbol budaya bersama.

Etika Branding Budaya dan Komunikasi Partisipatif : Menuju Komunikasi yang Saling Menghormati

Kolaborasi antara dunia usaha dan lembaga publik tidak harus berujung pada konflik nilai.

Dengan prinsip etika komunikasi antar budaya, sinergi tetap dapat dibangun melalui dialog yang menghormati perbedaan makna. 

Ke depan, kolaborasi antara sektor publik dan swasta dalam konteks budaya seharusnya berlandaskan etika komunikasi antar budaya. Etika ini menuntut adanya dialog sejajar, keterbukaan informasi, serta penghormatan terhadap nilai yang hidup di masyarakat.

Beberapa langkah konkret yang bisa ditempuh:

1. Menjaga nama historis “Kejaksan” sebagai identitas utama, sambil memberi ruang promosi bagi Batik Trusmi melalui galeri, mural, zona ekonomi kreatif, atau digital signage di area stasiun.

2. Melibatkan masyarakat lokal dan budayawan sejak tahap awal melalui public consultation untuk mencegah kesalahpahaman simbolik.

3. Melaksanakan kajian dampak budaya (Cultural Impact Assessment) agar perubahan simbol publik tidak menimbulkan konflik identitas.

4. Membangun sinergi berbasis prinsip cultural synergy (Trompenaars & Hampden-Turner, 

5) mengelola perbedaan sebagai sumber kekuatan kreatif, bukan ancaman.

Kolaborasi bisnis yang berakar pada sensitivitas budaya justru dapat memperkuat citra merek, karena masyarakat akan merasa dihormati sebagai bagian dari proses, bukan sekadar penonton perubahan.

Sumber: