Polemik Stasiun Cirebon: Antara Naming Rights dan Nilai Budaya

Polemik Stasiun Cirebon: Antara Naming Rights dan Nilai Budaya

Dr. Sitti Maesurah S.IKom M.IKom, Dosen dan Peneliti aktif bidang Komunikasi Bisnis Antar Budaya. FOTO: IST/ RAKYAT CIREBON--

1. Pragmatic legitimacy : diperoleh ketika organisasi dianggap bermanfaat bagi publik;

2. Moral legitimacy : muncul saat tindakan organisasi dinilai sesuai dengan nilai sosial dan etika masyarakat;

3. Cognitive legitimacy : tercipta ketika keberadaan organisasi dianggap “alami” dalam sistem sosial.

Dalam kasus Cirebon, langkah PT KAI dan Batik Trusmi untuk menggunakan naming rights belum mencapai dua bentuk legitimasi terakhir: moral dan kognitif. 

Secara administratif mungkin sah, tetapi secara sosial belum diterima karena dianggap menyalahi rasa kepantasan budaya masyarakat.

Teori Social License to Operate (Gunningham, 2012) menegaskan bahwa keberlangsungan proyek bisnis atau kerja sama publik-swasta sangat bergantung pada penerimaan masyarakat. 

Lisensi sosial tidak tertulis dalam dokumen, tetapi termanifestasi dalam dukungan, kepercayaan, dan partisipasi publik. 

Tanpa legitimasi sosial, kebijakan yang secara hukum sah tetap berpotensi memicu resistensi sosial, bahkan krisis reputasi.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa komunikasi publik yang minim dialog dapat menggerus legitimasi sosial yang telah dibangun bertahun-tahun. Dalam praktik komunikasi korporat, kehilangan legitimasi berarti kehilangan kepercayaan yang merupakan modal utama keberlanjutan bisnis.

Karena itu, setiap kebijakan yang menyangkut identitas publik seharusnya menerapkan model komunikasi partisipatif (Freire, 1970), di mana masyarakat tidak sekadar diinformasikan, tetapi dilibatkan secara aktif dalam proses perumusan kebijakan.

Langkah ini bukan sekadar simbol demokrasi, tetapi bentuk penghormatan terhadap nilai budaya lokal, serta sarana menjaga hubungan harmonis antara institusi dan komunitas.

Dengan kata lain, legitimasi sosial hanya dapat dicapai melalui komunikasi yang transparan, empatik, dan partisipatif. 

Dalam kerangka komunikasi bisnis antar budaya, ini menjadi bentuk nyata dari tanggung jawab sosial perusahaan (corporate cultural responsibility), yaitu komitmen korporasi untuk menghormati simbol, nilai, dan aspirasi masyarakat tempat mereka beroperasi.

Kekuasaan Simbolik dan Resistensi Budaya

Sosiolog Pierre Bourdieu (1991) menyebut symbolic violence sebagai bentuk dominasi makna yang terjadi ketika pihak berkuasa mendefinisikan realitas sosial tanpa partisipasi pihak lain. 

Sumber: