Bersama-sama Bergerak Wujudkan Kemandirian Ekonomi

Bersama-sama Bergerak Wujudkan Kemandirian Ekonomi

BERTEMU. Pimpinan Ponpes Santi Asromo, KH Asep Zaki SKM MKM, Nurhasan Zaidi serta Bupati Majalengka, Karna Sobahi dalam sebuah acara, kemarin.--

Dari hasil perjuangan KH Abdul Halim yang melahirkan sejumlah pemikiran cerdas tentang pembaharuan pendidikan pesantren-pesantren di Indonesia itulah, maka lahirlah sistem pendidikan pesantren yang lebih modern. Yang tidak hanya mengajarkan tentang ilmu keagamaan semata, namun juga keterampilan diri dan kemandirian. 

RAKYATCIREBON.ID, MUNCULNYA kesenjangan sektor ekonomi yang makin lebar akibat meningkatnya investasi asing, bisa membuat negara menjadi ketergantungan ekonomi  permanen. 

Hal tersebut bisa diartikan sebagai imperialisme dan kolonialisme gaya baru, akibat negatif dari kebijakan investasi asing. Salah satunya adalah menjadikan masyarakat Indonesia menjadi konsumen di segala bidang dan masyarakat mandul tidak berkembang. Karena berhadapan dengan kapitalis yang memonopoli  sumber-sumber ekonomi  hajat orang banyak dari hulu sampai hilir.

Padahal, investasi asing yang tidak terkendali, hanyalah akan menguntungkan kepemilikan surplus ekonomi oleh lapisan kapitalis. Sementara masyarakat Indonesia akan semakin mengkhawatirkan, ketika generasi bangsa ini diposisikan sebagai generasi buruh yang kurang memiliki masa depan. Oleh karena itu, maka jawaban dan kata kuncinya masyarakat Indonesia harus memiliki jiwa kewirausahaan.

Memperhatikan realita yang ada, bahwa sebagian besar lulusan produktif  SMK, pesantren, SMA, MA dan Perguruan Tinggi adalah lebih sebagai pencari kerja (job seeker) daripada pencipta lapangan pekerjaan (job creator). Hal ini disebabkan sistem pembelajaran yang diterapkan di berbagai SMK, pesantren, MA, SMA dan  perguruan tinggi saat ini, yang umumnya lebih terfokus pada ketepatan lulus dan kecepatan memperoleh pekerjaan. Dan memarginalkan kesiapan untuk menciptakan pekerjaan dan produk karya nyata. 

Maka tampilah pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mampu mendorong kemandirian. Seperti yang dilakukan Ponpes Santi Asromo dan Darul Ulum PUI yang terus bergerak menuju kemandirian ekonomi. Pernyataan di atas, disampaikan Dr Amin Ridwan MPdi tokoh pendidikan di Darul Ulum dan KH Asep Zaki SKM MKM pimpinan Pesantren Santi Asromo.

Menurutnya, kekurangan penerapan doktrin pendidikan bagi siswa atau santri bahkan mahasiswa di berbagai disiplin ilmu, yang hanya diajarkan tentang bagaimana bisa bekerja dengan baik. Tanpa  dipacu untuk bisa menjadi pemilik dari usaha-usaha sesuai latar belakang ilmu mereka, menjadi sebuah kesalahan.

“Pendidikan harus dijalankan dengan kreatif. Yaitu pendidikan kewirausahaan karena membekali siswa atau santri  untuk mandiri dan tidak berorientasi menjadi pencari kerja ketika yang bersangkutan menyelesaikan studinya. Namun sudah dipersiapkan menjadi pengusaha yang bisa berdikari dan mandiri dengan membangun sistem kewirausahaan,” ucapnya.

Lebih lanjut, sambungnya, merujuk pada karya-karya ulama terdahulu yang membahas pentingnya mencari kehidupan yang otoritatif dan representatif  seperti kitab al Kasb Dalam karya Imam al Syaibani ( 132 H-189 H),  disebutkan ada  lima sifat yang seyogyanya  dimiliki setiap al kasab (bekerja) bagi kemandirian ekonomi yang hakiki. Yakni zuhud, wara, sabar, syukur dan tawakal.

Yang pertama, zuhud dan wara dari segi terminologi linguistik berarti menjauhkan diri dari sesuatu lantaran menyadari rendahnya nilai barang A dan subjek sadar, bahwa barang B  bernilai lebih tinggi daripada nilai A. Artinya, orang yang menjual atau  mencari dunia  untuk mendapatkan akhirat .  Apakah manusia itu mencari, atau menjual akhirat untuk dunia. Itulah pengertian secara bahasa.

Sedangkan wara  dalam kontek kasab manusia yang bekerja itu harus senantiasa  menjauhi perkataan dan perbuatan yang tidak disukai Allah SWT. Baik yang terpendam di hati maupun terang-terangan meninggalkan banyak berkata-kata  dan menuntut banyak harta, karena takut tidak bisa menunaikan hak Allah. 

Zuhud dan wara ini dapat mencegah seseorang melakukan hal-hal yang dilarang oleh syariat yang menimbulkan kezaliman  seperti penimbunan barang (al-ihtikar), mempermainkan harga tinggi (al israf), dan  bermegah-megahan kapitalis (al tafakbur) itu semua akan menimbulkan kemudharatan bagi orang lain atas kepentingan bersama.

Yang kedua adalah dengan sabar dan syukur. Secara bahasa sabar berarti bertahan dengan gigih, sedangkan syukur  berterima kasih  walaupun sebenarnya keduanya mempunyai dimensi  makna yang sangat luas dan dalam. Paling tidak, kalau dilihat dari perspektif realita ekonomi, sabar dan syukur harus menjadi modal dasar bagi jiwa mandiri dalam berusaha. Jangan pengertian sabar dan syukur direduksi  hanya untuk sekedar fenomena  menunjukan  dogma  si miskin dan si kaya. Yang miskin harus sabar dan si kaya harus bersyukur.

Ketiga, tawakal adalah bentuk masdar dari kata kerja wakala, berarti artinya menaruh kepercayaan kepada wakil (seorang yang dipercaya). Dalam konteks syariah, tawakal berarti mempercayai segala urusan kepada Allah karena Allah dan tidak putus asa apa-apa yang ada di tangan manusia. 

Sumber: