Polemik Stasiun Cirebon: Antara Naming Rights dan Nilai Budaya

Polemik Stasiun Cirebon: Antara Naming Rights dan Nilai Budaya

Dr. Sitti Maesurah S.IKom M.IKom, Dosen dan Peneliti aktif bidang Komunikasi Bisnis Antar Budaya. FOTO: IST/ RAKYAT CIREBON--

Oleh: Dr. Sitti Maesurah S.IKom M.IKom

*** Dosen dan Peneliti aktif bidang Komunikasi Bisnis Antar Budaya

Polemik penamaan Stasiun Cirebon Kejaksan menjadi Stasiun Cirebon Batik Trusmi mencerminkan tarik-menarik kepentingan antara pelaku bisnis, lembaga publik, dan komunitas budaya. 

Kasus ini menyingkap persoalan yang lebih dalam dari sekadar pergantian nama: ia menyentuh persoalan identitas budaya, komunikasi lintas nilai, dan legitimasi sosial.

Tulisan ini mengurai konflik tersebut dalam bingkai teori identitas budaya (Hall, 1996), komunikasi antar budaya (Gudykunst, 1998), serta legitimasi sosial (Gunningham, 2012), dengan tawaran solusi berbasis etika komunikasi dan partisipasi publik agar kolaborasi bisnis dan budaya dapat berjalan harmonis.

Negosiasi makna di Ruang Publik: Ketika Branding Bertemu Budaya

Dalam dua dekade terakhir, strategi naming rights atau pemberian hak penamaan fasilitas publik kepada pihak swasta menjadi tren global dalam manajemen aset. 

PT KAI Indonesia turut mengadopsinya sebagai langkah strategis diversifikasi pendapatan non-tiket.

Namun, penerapannya di ruang publik bersejarah seperti Stasiun Cirebon Kejaksan menimbulkan polemik luas. 

Ketika nama “Kejaksan” direncanakan berubah menjadi “Batik Trusmi”, muncul perdebatan antara PT KAI, pihak Batik Trusmi, dan DPRD Kota Cirebon. 

Sebagian masyarakat menganggap langkah ini bentuk penghargaan terhadap industri batik lokal, tetapi banyak juga yang melihatnya sebagai komersialisasi ruang identitas publik.

DPRD Cirebon akhirnya menolak pergantian nama dengan alasan nilai sejarah dan kepantasan budaya.

Sebagai akademisi di bidang komunikasi bisnis antar budaya, saya memandang kasus ini tidak sekadar persoalan administratif, melainkan cerminan konflik simbolik antara nilai ekonomi dan makna budaya. 

Sebuah nama bukan hanya tanda linguistik, ia adalah narasi sosial yang memuat sejarah, emosi, dan kebanggaan kolektif.

Sumber: